Jumat, 04 Juni 2010

Sebuah Pembelajaran dari Jalanan

Ketika aku menulis ini, kejadian yang sebenarnya telah aku alami setahun sebelumnya.
Mungkin ini penting, mungkin juga tidak. Tapi yang jelas aku akan menulisnya karena ini blogku.




Pengamen dan gembel.
Aku cenderung tidak mengharapkan keberadaan mereka. Mungkin itu tak semestinya karena mungkin, mereka hanyalah alat-alat bagi oknum-oknum jalanan yang mestinya ditertibkan. Atau mereka adalah korban-korban dari kehidupan bangsa kita yang mulai dirasuki racun globalisasi.


Aku, waktu itu, berada dalam pembelajaran resmi yang bernama kaderisasi. Kaderisasi unitku yang kocak, yang mereka menamainya secara brutal, Plonco.
Yang menjadi tugas kami adalah menyamar menjadi gembel jalanan, gembel yang bau, gembel yang berpakaian seperti gembel sungguhan, gembel yang berjalan tak tentu arah.


Oh, cuma menjadi gembel. Sounds easy.Bukan perkara susah untuk memutus urat malu buat orang-orang seperti kami. Memang itu yang kami pelajari di unit. Memang dengan mentaltidaktahumalu unit kami hidup.
Tapi masalahnya, apakah menjadi gembel cukup dengan membuang nilai-nilai ke-malu-an saja?


Kamu kuliah, maka Kamu adalah orang kaya. Yang tidak pernah kita sadari adalah kita dilahirkan dengan ketercukupan yang membuat diri kita eksklusif. Entah itu eksklusif dari orang miskin, eksklusif dari orang biasa saja, atau malah eksklusif dari orang kaya, karena kamu adalah superkaya. Yang pasti, kita eksklusif dari gembel jalanan.


Topeng kami saat itu adalah topeng manusia-manusia jalanan yang pada hakikatnya mereka sama dengan kita. Kenakanlah topeng itu beserta kemeja ketertindasan mereka. Dan lepaskanlah mantel eksklusifisme kalian. Celana arogansi kalian. Sepatu acuh kalian. Tanggalkan, lepaskan semuanya.


Dan kami melakukannya.
Kami menjadi gembel.
Ketika merasakannya, aku berpikir untuk apa aku melakukan ini. Untuk apa aku berpeluh, meminta recehan dari tangan orang-orang yang memegang kemudi bulat.
Susah, tidak mudah mendapatkan uang dari orang-orang itu.
Orang-orang yang bahkan tidak pernah menempatkan bola matanya untuk melihat gembel seperti mereka, atau seperti aku. Mereka bahkan sudah memperlihatkan telapak tangan mereka saat kami masih berjalan ke arah mobil mereka.
Susah, tidak mudah mendapatkan uang dari orang-orang itu.


Aku, si gembel, pun berjalan mencari pekerjaan. Pekerjaan apapun.
Aku mendapatkan izin untuk membantu mencuci motor di bengkel cuci motor yang cukup mewah.
Sekitar 120 menit aku bekerja, dan apa yang kudapatkan dari pemiliknya cukuplah membuat aku sendiri kecewa. Upah yang diberikan tidak sesuai dengan beratnya pekerjaanku.


Barangkali aku kurang baik dalam melayani pelanggan, barangkali juga aku malah menghambat kerja karyawan-karyawannya, barangkali aku melakukan kesalahan yang tidak pernah mereka beritahukan kepadaku. Atau barangkali itulah mental yang dimiliki seorang pengusaha di sini. Mental yang dibangun dengan landasan materi dan keuntungan semata. Mental tidak menghargai pekerja. Mental yang gemar memperkecil safety factor, factor kerugian mereka sendiri.


Salah, mungkin aku salah menilai, masih beruntung gembel yang terlihat tanpa skill seperti diriku masih diberikan pekerjaan.
Dan aku biarkan otakku berpikir positif seperti itu. Aku bahagia dengan berpikir positif.






Dan acara kami pun berakhir dengan evaluasi yang penuh peluh, bau, dahaga, canda, dan juga cinta.
Kami belajar banyak. Entah karena kami cerdas, atau sangat ingin tahunya kami akan itu, atau karena kami sangat buta akan itu, yang jelas kami belajar banyak.


Bahwa betapa berat melepas harga diri kita.
Bahwa betapa berbeda hidup kita dengan mereka.
Bahwa betapa banyak dari kita yang tidak pernah mau tahu mereka.
Bahwa betapa orang tanpa harta bisa lebih mulia daripada orang borjuis.
Bahwa betapa kompleks masalah negara kita yang mempunyai banyak anak jalanan dan masyarakat dengan hati tertutup pada suatu waktu yang sama.




Hari itu, aku mendapatkan pelajaran yang sangat berharga dari jalanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar