Kamis, 27 Oktober 2011

Sejarah Indonesia

Dikasih kawan video bagus. 
Lumayan buat ingat-ingat asiknya pelajaran jaman SD-SMP-SMA. Bukan momen lentur, bukan tegangan efektif. Tapi Sejarah Indonesia. Share!



Senin, 17 Oktober 2011

Bersiap-Siap di Ujung Perjalanan

Alam semesta menua. Jagad raya jelas semakin sepuh sekalipun rutinitas revolusi masih kuat dilakukan.

Manusia juga begitu. Waktu merapuhkan setiap bagian terkecil dari sel-sel keturunan adam. Sang penguasa tidak bisa selamanya menyandang kepadukaan karena pasti mati. Salah satu kepastian adalah manusia butuh regenerasi untuk menyambung sejarahnya. Kita tidak pernah tahu apa, siapa, dan bagaimana tantangan buat kita di masa mendatang.

Pendidikan direncanakan sebagai suatu solusi paling pas untuk melahirkan lagi calon-calon penentu sejarah manusia. Di dalamnya, ada beberapa rute beserta undak-undaknya sendiri yang pada akhirnya akan membawa manusia ke gerbang akhir yang direncanakan, dunia profesional. Orang-orang yang sedang berada pada masa transisi, dalam hal ini antara pendidikan dan profesional, harusnya sudah bisa berpikir bagaimana masa depannya nanti. Rute-rute yang dibuka dalam sistem pendidikan yang serbarumit, merupakan solusi untuk menyiapkan jenius-jenius di setiap sektor. Namun pada akhirnya, keputusan tetap ada di tangan manusia itu sendiri.


Idealis, atau ...?

Sering kali mahasiswa berpikir terlalu idealis. Menyusun masa depan idealnya berdasarkan apa yang sedang ia pertaruhkan saat ini. Tentang menjadi perancang gedung pencakar langit dengan kemampuan menahan gempa 2500 tahunan karena sekarang sudah (atau sedang) menjadi mahasiswa teknik sipil. Atau tentang menjadi ekonom penyelamat nasib republik karena saat ini sudah (atau sedang) terdaftar di jurusan ekonomi Unpad.

Kalau menurut saya, rasional adalah cara berpikir paling memuaskan. Masa depan harus dirasakan dan dibayangkan. Bagaimana hidup kita yang ideal di masa mendatang akan bisa dijawab ketika kita tahu apa kelebihan dan kekurangan kita, serta sekuat apa modal kita saat ini. Posisi yang optimal, yakni sesuai dengan kelebihan, kekurangan, serta modal; adalah sebuah posisi yang nantinya harus diupayakan pertama kali. Posisi optimal harusnya menjadi titik ideal bagi setiap calon lulusan pendidikan (yang biasanya menjadi panik dengan masa depannya).

Pada akhirnya, para pelajar akan sampai ke gerbang akhir. Semakin dekat dengan ujung perjalanan, maka semakin dekat dengan gerbangnya, semakin mendesak rencana masa depan harus dirampungkan. Ini tentang kapan kita mulai merasakan, membayangkan, dan merencanakan masa depan. Kita sedang ada di masa transisi, dan masa ini tidak akan lama lagi.

Siapkan waktu untuk itu, karena jagad raya ini tidak akan pernah bisa memperlambat penuaannya.

Jumat, 15 Juli 2011

Tiga Pesan Mimpi

Selasa, 5 Juli 2011.
 
 
Sebuah malam kulalui dengan tidur yang tak sempurna. Lelap kali itu tidak kuantarkan dengan terlebih dahulu beribadah Isya. Sepulang kerja praktik, langsung saja aku merebah. Untungnya, aku terbangun sebelum subuh memasuki saatnya.

Dalam lelap aku pun bermimpi. Kuanggap itu mimpi walaupun tak ingat betul apa kisah di dalamnya. Kali itu, seperti kebiasaannya, Sang Sutradara Mimpi bertutur dengan buruk. Bahkan sangat buruk. Namun ada sesuatu yang istimewa Ia sampaikan. Sebuah pesan di akhir cerita konyolnya, yang sekaligus membangunkanku dengan jantung berdegup sambil menggumamkan 3 kalimat tak henti-henti.

Determinasi. Tidak ragu. Tidak takut.
Determinasi. Tidak ragu. Tidak takut.
Determinasi. Tidak ragu. Tidak takut.
...

Seperti ada yang marah. Seolah-olah meledak kekecewaan bagian diriku yang lain. Jiwa yang sejauh ini kuacuhkan nasihatnya, tak kuurus penampilannya, sekalipun ia turut belajar sebagaimana jiwa yang kumainkan sebagai aktor utama selama ini. Satu hal kupercaya,  jiwa yang marah belajar dengan lebih jujur. Tidak pernah kuajarkan kepada dia cara memahat topeng sehingga ia nampak rupawan bak bintang pertunjukan. Ia merefleksikan aku apa adanya. 

Menjelang subuh kali itu, alam bawah sadarku mendapati betapa lemah aku selama ini. Beruntung aku, amarahnya justru sebuah pesan. Pesan yang ia kirim bersama karya Sang Sutradara Mimpi. Di titik itu, aku tahu betapa aku telah banyak membuang waktu untuk sikap yang seharusnya kumiliki sejak lama. Hingga akhirnya Tuhan mengajariku lewat cara yang unik sesaat sebelum seruan kepada-Nya berkumandang. Tentang tiga sikap yang harus dimiliki seorang manusia, laki-laki dewasa.

Determinasi. Tidak ragu. Tidak takut.

Minggu, 10 Juli 2011

Teater Pertama Kali

Rabu, 29 Juni 2011.


Tepat di bulan yang sama dengan jadwal kerja praktik saya, Forum Teater Realis dihelat di Ibukota. Kata Ghazi, seorang kawan, itu adalah rangkaian pertunjukan teater realis yang diadakan oleh komunitas Salihara. Ketika kawan saya itu menawarkan agenda, ada beberapa pertanyaan amatir yang muncul. Pertama, “apa itu realis?” dan kedua, “siapa itu komunitas Salihara?”. Namun saya berhenti penasaran karena ada satu pertanyaan lebih mendasar yang belum terjawab oleh saya sendiri, “seperti apa pertunjukan teater itu?”.


Bersama 5 kawan termasuk Ghazi, selepas maghrib kami membelah jalan-jalan kecil Jakarta Selatan. Berangkat ke gedung teater. Sebenarnya saya heran bagaimana mobil yang kami tumpangi bisa menyusuri jalanan sempit berkelok-kelok di Ibukota sebesar ini. Namun saya juga punya jawaban sendiri. Karena yang sedang kami titi adalah jalanan menuju tempat para seniman. Sehingga saya pikir jalanan kecil ini adalah “labirin” a la mereka yang penting untuk dicoba-nikmati oleh para manusia normal seperti kami. Hitung-hitung konsekuensi dari perjalanan kami menuju ke sarang seniman. Haha.


Kami sampai di Gedung Komunitas Salihara. Di tempat yang kami maksud. Akhirnya saya pun menonton seni pertunjukan teater. Cerita berjudul “Pertja” menjadi lakon teater pertama yang saya saksikan. Saya ucapkan banyak terima kasih untuk Ghazi yang telah membawa saya ke Gedung Teater Salihara malam itu.



Sebelum pertunjukan dimulai, di loket ditumpuk buku-buku resensi dari kelima cerita yang ditampilkan selama rangkaian Forum Teater Realis. Ketika saya baca di rumah, ternyata ada sedikit pengantar bagi calon penonton. Isinya resensi lakon yang dimainkan serta penjelasan aliran realis itu sendiri. Ternyata aliran realis tidak sebatas dalam seni peran atau teater, karena bahkan di buku itu, pendefinisian makna realis diawali dengan ilustrasi sebuah lukisan karya Pablo Picasso.

Sepenangkapan saya, intinya bahwa realis merupakan sebuah aliran yang dimaksudkan untuk mengadegankan kejadian-kehidupan nyata (real) dalam panggung pertunjukan. Maka, karya seni realis yang baik adalah karya seni yang dibuat dengan pendekataan sebaik mungkin dengan kenyataan yang ada. Dengan diciptakannya karya-karya seni beraliran realis, diharapkan manusia kembali mampu membuka diri akan segala kemungkinan yang lazim terjadi dalam kenyataan. Menarik bukan?

Minggu, 26 Juni 2011

Rayuan

Di antara perut-perut rak rendah, mereka tersusun rapi. Dari semua penjuru gedung atau kamar pamer, mereka menyeru kalimat-kalimat memanggil. Berlomba mengundang orang supaya menghampiri, lalu mencari sumber suara. Bertemu, dan lalu membiarkan calon pembeli untuk mengeksplorasinya. Buku-buku selalu berhasrat untuk dibaca.
Mau biografi presiden, mau parodi politik. Mau sastra agak kuno, mau modern. Mau penulisya Hemmingway atau cuma remaja kos-kosan. Genre apa saja. Semua seakan berbisik,  “Ayo sayang, baca aku. Akan kubiarkan kamu mengenalku, supaya kamu bertambah paham akan dunia..”. Buku-buku selalu baik. Mereka, apapun konten yang dimuat, pasti menyampaikan informasi-informasi yang ada di dunia. Manusia-manusia lain membutuhkan informasi itu.
Lalu aku mengaku kepada mereka. “Maaf, saya bukan remaja kaya. Saya tak mampu membelimu. Mungkin tidak sekarang”. Atau, “kita lihat, apakah benar saya meginginkanmu. Kita lihat apa saya bisa menyisihkan uang makan saya demi kamu”. Atau juga, “kamu sungguh-sungguh menarik. Mungkin saya akan mencari saudara tuamu di toko loak”.
Buku-buku memang begitu, dan akan selalu begitu, bagiku. Kadang mereka hanya dibekali dengan sampul menawan, untuk menipu pembeli yang kurang cermat. Kadang justru sampul mereka tak layak untuk informasi sehebat yang dimuatnya. Mereka memang agak nakal. Dan memilihnya pun selalu menjadi hal yang mendebarkan, masih bagiku.
Kamudian biasanya, di akhir hari saat aku keluar tanpa melewati antrian kasir, yang kugumamkan, “Suatu saat ketika aku kaya raya, aku pastikan akan berfoya dengan buku-buku”.

Minggu, 15 Mei 2011

Dari Google untuk Otak Saya

Berawal dari celetukan seorang kawan menanggapi permainan blackout, "Ati-ati lo, itu kan jantung lo dibuat berhenti, ntar otak lo ga dapet pasokan darah. Bisa menciut otak lo".

  
Secara mengejutkan, rendah diri bisa menyebabkan otak manusia menciut.

Satu hal terbesar yang saya pelajari selama berada di kampus tenar ini adalah "jangan pernah sekalipun meremehkan kemampuan seseorang, termasuk dirimu sendiri".

Bagaimana, masih mau dikuasai rasa minder, malu, dan rendah diri?!

Rabu, 04 Mei 2011

Wild Admire

Mengagumi itu sederhana.
Hanya butuh satu orang untuk ada hubungan kagum dan dikagumi. Karena masa bodoh apakah sang idola juga punya perasaan sebaliknya atau tidak.

Mengagumi itu bebal.
Tak peduli siapa yang diidolakan, apa statusnya, atau bagaimana perbedaan kastanya, si pengagum boleh-boleh saja mengagumi sang idola.

Mengagumi itu tidak cengeng.
Karena saking bebalnya, perasaan kagum tidak akan terluka oleh sayat-sayat dusta, penghianatan, dan cemburu.

Manusia lahir dengan naluri mengagumi yang liar. 
Maka pengaguman manusia itu berlaku untuk siapa saja, serta teruntuk siapa saja, apa saja.
Bebas, sangat-sangat-sangat bebas.

Sabtu, 30 April 2011

Nama Bioskop

Dari dulu saya heran, kenapa nama bioskop di Indonesia mengandung nomor 21. 
Ada bioskop yang mungkin jika dialihistilahkan ke bahasa kereta, termasuk kelas bisnis. Namanya 21 (baca: twenty one). Lalu bioskop yang kelasnya lumayan eksekutif adalah XXI (baca: eks-eks-wan). Itu artinya "dua puluh satu" bukan? Namun saya tak tahu kenapa harus 21.




Jumat, 29 April 2011. Pukul 00.00.


Tanpa bermimpi apa-apa, saya langsung terbangun oleh pukulan yang bertubi-tubi. Pipi saya ditampar, perut saya diinjak, badan saya dibolak-balik.
Setelah itu saya dibawa mereka keluar, kacamata saya dilepas, jahim pun begitu. Saya pasrah. Masih banyak tamparan melayang ke pipi (terkadang ada sepasang tangan menghampiri dan menampar pipi saya dari dua arah). Sementara tongkat-tongkat panjang mulai terlihat di depan mata.


Setelah itu saya tak ingat banyak. Nyawa saya belum sepenuhnya kembali dari alam beta ketika tongkat-tongkat panjang mulai menyerang punggung saya yang dipenuhi belulang. Kurang lebih 10 orang bergantian menyarangkan sang tongkat koran ke sana dengan brutal. Panasnya berbeda-beda saat tongkat itu mendarat, tergantung jenis tongat, di mana mendaratnya, bagaimana posisi serangnya, siapa yang mengayunnya, dan apa motivasinya. Kira-kira 20 menit saya menahan amukan massa yang horny karena tiba-tiba ada manusia sansak.




Oke boy, terima kasih buat semua pukulan itu. Ada kebanggaan pada diri saya ketika sekian banyak orang turut menyerang saya dengan cara yang selama ini menjadi ciri kita. Saya paham bagaimana tradisi itu tidak masuk di akal orang pada umumnya, namun seperti itulah cara kita. Dan saya membanggakan itu, sangat membanggakan itu, entah darimana logikanya. Sekali lagi terima kasih, Kawan-Kawan.
Terima kasih untuk semua tamparan, tendangan, pukulan, kue, dan ucapan. Saya bangga terhadap kita.




Terima kasih sudah membuat 21 saya bermakna, meskipun saya masih belum tahu mengapa bioskop di mall bernama 21 dan XXI.

Kamis, 31 Maret 2011

Balon Meletus

"Kau tidak akan bisa terus memendam perasaan ketika kau adalah seorang yang mudah sekali tersinggung".

Sabtu, 19 Maret 2011

Sephia

Pikiran ini terseok bersama tantangan yang hingar bingar.
Kalut aku, sempoyongan. Terperosok ke ruang yang senyap, walaupun di sana aku bernafas.
Dunia tetap terlihat, meskipun berrona sephia.


Kakiku tidak cukup sempurna untuk menjadi sempurna.
Gontai aku berlalu, kaki ini hanya kuseret tanpa yakin aku akan ketahanannya.
Lalu aku tahu aku meninggalkan sesuatu.


Dunia ini masih akan berrona sephia.
Sejauh ini, dan saat kaki masih menggores garis panjang pada tanah yang makin berkerikil tajam-tajam.
Aku tidak ingin meninggalkannya lagi.






Ketikapun rolet waktu memacu segala ciptaan untuk bergerak,
titian ini pantang untuk ditinggalkan.
Mudahkan aku berjalan dengan wajar, jangan terseok-seok.


Bantu aku agar tak lupa akan imanku.
Biar kupanjat, dan kujamah dengan rasa cinta yang kumiliki.


Yang selalu kuingin adalah Kau mudahkan aku 'tuk mengingat-Mu.

Selasa, 08 Maret 2011

An Engineer and Love

Most engineer think too logical, they'll try to find your "pattern" and use that pattern to manipulate you.

Yes, in engineer's eyes, boy/girlfriend is just an object with dynamic variable.



Ngahaha.

Jumat, 25 Februari 2011

Nadir

" Jika manusia masih melakukan sesuatu ketika Ia tahu ada hal yang jauh lebih besar dan mendasar yang jelas bermasalah, maka yang dilakukan manusia tersebut tidaklah lebih dari pembenaran, rutinitas, dan ritualitas "

Mengada-Ada

Kamis, 17 Februari 2010


Masih di rutinitas yang kencang membelenggu, mengharuskanku pulang jam 1 malam. Malam itu aku mengantuk.
Kampus sedang hangat oleh isu yang disebut banyak orang sebagai teror. Kepala babi guling, closet WC dibakar, hingga direspon oleh pihak rektorat dengan patroli malam, menegakkan aturan bahwa tidak boleh ada lagi mahasiswa di atas jam 11 malam. Suasana kampus menjadi mencekam tiap malam, entah itu natural atau rekayasa, atau malah sugesti alam bawah sadar mahasiswa yang tidak normal hidupnya.


Aku pun pulang bersama L **** XQ. Keluar dari portal yang otomatis menutup sesaat setelah aku melewatinya. Mata ini mengantuk. Aku bermotor pulang dengan sisa-sisa tenaga.


30 meter dari portal parkiran, kubiarkan motor digoncangkan oleh lubang-lubang jalan yang sayangnya bisa ada di depan institut ini. Lubang-lubang tidak membantu untuk melambat atau menghilangkan kantuk. Sedikit lagi aku melewati gerbang ITB.


Di gerbang utama kampus. Tepat di bawah tiang bendera. Seseorang jongkok terihat seperti membenahi sesuatu. Aku curiga. Buat apa orang seperti dia berada di kampus, apalagi dengan posisi demikian? Jangan-jangan dia yang meneror tempatku belajar.


Lalu kulihat di depan si pria jongkok. Sebuah sosok panjang, putih, seukuran pria dewasa juga, duduk di sesuatu yang entah apa. Putih dia terbungkus kain. Dia makhluk yang sering kulihat di film-film horor Indonesia. Jelas sekali itu pocong. Aku terperanjat. Seperti ini rasanya melihat makhluk yang belum pernah kulihat. Namun hanya 10 meter lepas dari lokasinya, otakku berhasil merasionalkan semuanya. Itu orang. Terlebih, mereka berdua mungkin cuma pembuat onar. Aku bangga punya otak yang bisa logis.


Sampai di kamar sewa, aku kirim pesan kepada teman yang masih ada di kampus. Aku harap mereka bisa memeriksa kejadian yang baru kulihat. Pergilah mereka ke gerbang utama. Menurut satpam, tidak ada siapa-siapa dari tadi. Aku mencoba kembali rasional.


Esoknya, kubawa ceritaku ke mana-mana. Semua orang heran bertanya tanya. Aku masih yakin yang kulihat adalah manusia. Lalu karena tidak ada lagi yang bisa diceritakan, kubiarkan cerita itu hilang, sampai tidak ada yang peduli, termasuk aku.


Senin, 21 Februari 2011. www.kaskus.us. Kutemukan jawabannya. Yang kulihat memang manusia. Reaksi mahasiswa terhadap isu kampus yang janggal. Biasa, mahasiswa seni rupa. Kali ini, otakku yang menang.