Senin, 27 Desember 2010

Indonesia Belum Pantas! : Saya Harap Salah

Mungkin harapan-harapan yang ada terlalu menjulang. Mungkin karena terlalu rasional. Mungkin batas optimis telah terlewati, dan pasukan tempur  terlanjur masuk ke zona arogan. Mungkin gangguan nonteknis yang patut dipersalahkan. Namun saya pikir ini adalah sebuah komplikasi. Komplikasi keterpurukan, ketidakmampuan secara mental seluruh bangsa ini untuk memenangi turnamen. Indonesia belum siap untuk juara.
 
Stadion Bukit Jalil, Kuala Lumpur, Malaysia.
Malaysia 3 – 0 Indonesia.

Mengecawakan? Sudah tentu. Namun tidak bijaksana jika yang disalahkan hanya pemain di lapangan atau pelatih di bench. Sedangkan tidak jantan bila mempersoalkan sportivitas supporter lawan. Hal yang paling tidak bisa diterima adalah memandang sebuah pertandingan hanya sebagai momen penuh keringat selama 90 menit tanpa kejadian apapun baik di depan ataupun belakangnya. Sebelum ataupun setelah laga, ada banyak hal yang mungkin berpengaruh terhadap keberjalanan sebuah tim (karena tim itu adalah sebuah objek yang bekerja, dan objek itu masih akan tetap sama dalam sebuah gelaran turnamen). Maksud saya adalah jangan memalingkan muka pada hal-hal yang terjadi di luar pertandingan.





Oke, saya juga mengenal apa itu sepakbola. Saya paham betapa sebuah pertandingan, hanya sebuah pertandingannnya saja, dapat menghancurkan tim dengan persiapan terbaik. Saya belajar itu. Apalah arti teori yang matang tanpa pelaksanaan yang sempurna. Oleh karenanya, saya punya beberapa anilisis asal-asalan yang mungkin merupakan sebuah respon wajar dari seorang yang merasa kecewa. Namun sebisa mungkin saya rasional akan elemen-elemen pemengaruh hasil pertandingan malam ini. Elemen-elemen yang tidak saya definisikan sebagai sebab atau akibat, atau barangkali bukan keduanya samasekali. Elemen-elemen yang membuat saya berpikir, "Memang secara keseluruhan, bangsa Indonesia belum siap”.

Media
Inilah kambing hitam utama dalam kacamata saya. Orang-orang beringas, lapar materi, yang sedikit egois dan bahkan mungkin tak tahu bedanya “menumbuhkan nasionalisme” dengan “memprovokasi”, dan “membodohi”. Saya mencoba memberi bukti:
  • Lihat bagaimana anak-anak kecil yang tak tahu-menahu tentang sepakbola tiba-tiba merengek meminta kostum timnas bernomor punggung 9.
  • Lihat bagaimana pemain muda dan terasing dari budaya Indonesia seperti Irfan Bachdim menunjukkan wajah enggannya setiap kamera gossip hendak menyorotnya, yang perlakuan tersebut tidak pernah dan mungkin tidak akan pernah ia dapat di negaranya terdahulu.
  • Lihat bagaimana pendukung sejati timnas, penikmat bola yang cerdas, begitu sensitif akan pemberitaan yang berada jauh sekali di luar khazanah olahraga sepakbola yang sesungguhnya.
Dan banyak lagi gelagat lain, tendensi yang lebih dari cukup untuk menuding para kapitalis berkamera sebagai tersangka utama di balik keterpurukan mengejutkan ini.

Politikus
Elemen yang kedua saya peroleh juga dari pemberitaan media. Poltikus berlomba-lomba mendompleng keberhasilan timnas. Saling mengunjungi camp latihan dan memberikan dukungan secara langsung. Ada yang mewakafkan lahan gratis untuk level keberhasilan timnas yang lebih tinggi di masa mendatang. Beberapa menjanjikan bonus khusus untuk setiap kemenangan yang berhasil diraih. Sedangkan yang lebih berkuasa mengklaim keberhasilan timnas adalah buah andil mereka di masa lalu. Ini, itu, nyesnyo. Tahu apa mereka akan sepakbola? Peduli apa mereka selain popularitas, eksistensi, dan nama baik?

Penonton
Elemen berikut masih diberitakan oleh media. Bahwa terjadi kericuhan di lokasi penjualan tiket pertandingan kedua di Senayan, Jakarta. Bahwa pendukung timnas saling desak dan berebut antrian, saling tuding akan kemungkinan konspirasi, hingga aktivitas pukul-memukul yang notabene dilakukan oleh sesama pendukung garuda. Seperti itukah nasionalisme yang diharapkan? Seperti itukah sikap di dalam tubuh bangsa ini, ketika akan bersama-sama “melawan” bangsa lain? Dan apakah masih akan ada nafsu bernafas nasionalisme ini, pasca leg pertama yang menyakitkan? Bahkan sekedar untuk “berperang” pun, kita jauh dari siap. Apalagi untuk menang.

Decision on battlefront
Berawal dari kelalaian panitia, berujung pada kekalahan salah satu peserta. Namun di tengahnya ada kesalahan mutlak dari yang kalah. Saya sepakat dengan apa yang komentator ucapkan, “Jangan sampai berhentinya pertandingan akibat peristiwa laser ini menurunkan konsentrasi pemain kita”.  Dan benar, apa yang terjadi setelah peristiwa itu adalah apa yang ditakutkan olehnya. Bukan laser, sejatinya, namun keputusan pemain sendiri. Andaikan pemain kita tidak menghancurkan daya konsentrasi, mengganggu ritme, dan me-restart permainan mereka sendiri dengan sebuah keputusan konyol khas Liga Indonesia, “mogok main”, mungkin malam tadi tidak akan sekelam yang terjadi.


Empat belas tahun mungkin terlalu panjang untuk bangsa sebesar ini menunggu kesuksesan, menunggu di tengah badai keterpurukan yang semakin sempurna mensugestikan kegagalan di setiap gelaran yang diikuti. Yang semakin nyaman melekat di setiap ketidakpercayaan akan datangnya keberhasilan. Sehingga ketika momentum keberhasilan benar-benar datang, bangsa ini sudah terlanjur menjadi bangsa yang kecil, dalam hal menerima kesempatan yang besar itu, dalam hal mempersiapkan diri menjadi pemenang.
 
Namun secara pribadi, saya tidak ingin benar. Saya ingin tulisan saya ini salah. Saya ingin melihat bangsa Indonesia yang siap untuk menjadi juara,. Melihat betapa sesungguhnya besar bangsa ini. Ini bukan perihal sebuah tim, ini perihal seluruh bangsa. 

Tunjukkan jiwa juara yang sesungguhnya wahai segenap putra pertiwi. Tunjukkan bersama garuda-garuda kebanggaan di sana, di 90 menit esok, di  bumi kita sendiri.

Garuda di dadaku
Garuda kebanggaanku
Kuingin, hari esok kita menang!

Kamis, 16 Desember 2010

Tentang Sebuah Hati


Fakta menakjubkan yang ditemukan para dokter di National Taiwan Hospital. Penyebab utama kerusakan hati:
  1. Tidur terlalu malam dan bangun terlalu siang 
  2. Tidak buang air di pagi hari 
  3. Pola makan yang berlebihan
  4. Tidak makan pagi 
  5. Terlalu banyak mengonsumsi obat-obatan
  6. Terlalu banyak mengonsumsi bahan pengawet, zat tambahan, zat pewarna, pemanis buatan 
  7. Minyak goreng yang tidak sehat 
  8. Mengonsumsi masakan yang mentah atau terlalu masak

Well, 5 dari 8 adalah kebiasaan mahasiswa = Saya.

Bagaimana dengan hati kalian?

Kamis, 09 Desember 2010

"Selamat Pagi, Silahkan Berbelanja"

Menjadi mahasiswa memang susah-susah-gampang. Mahasiswa boleh memilih. Mau ambil pusing akademik saja? Aktif organisasi? Berusaha menyeimbangkan keduanya? Menjadi sampah kampus? Semuanya sok aja. Mahasiswa memang zona bebas dalam peta hidup seorang manusia.


Jumlah pilihan diragukan untuk sebanding dengan kebahagiaan. Mahasiswa layaknya seseorang yang sedang belanja di supermarket. Dalam analogi saya, mahasiswa menenteng seonggok masa lalu yang ringan dan membanggakan serta terbungkus rapat dalam buntalan takdir yang tak akan lagi bisa diulik. Namun di bahunya, tiap-tiap mahasiswa memikul sebuah keranjang masa depan yang berat dan sangat perlu untuk dipenuhi. Keranjang ini, adalah satu-satunya alat bagi mahasiswa membawa pulang belanjaanya ke rumah yang disebut masa depan. Keranjang ini, mungkin sudah sangat berat sekalipun belum pernah diisi oleh barang belanjaan. Inilah keranjang yang harus dipenuhi dengan segala pilihan. Pelajaran, teman, pengetahuan hidup, koneksi, kedewasaan, dan lain sebagainya yang ada di dalam supermarket ilmu bernama kampus.




Analogi saya belum berakhir. Supermarket mahasiswa tidaklah seindah pasar terapung di Barito. Apa yang dijual di sana, bukan lagi merupakan barang-barang yang baik atau buruk. Lain halnya dengan alpukat busuk di sebuah lapak yang akan selalu benilai "buruk" bagi setiap wanita. Apa yang ada di kampus selalu memuat nilainya (value) sendiri. Apakah barang itu baik atau buruk, jawabannya akan selalu relatif. Relatif bagi tiap-tiap mahasiswa. Seberapa baik barang tersebut bagi Anda, tergantung bagaimana Anda menganalisisnya. Seberapa butuh Anda terhadap value yang dipunyai barang tersebut, dan sejauh mana Anda menginginkan barang tersebut untuk menjadi perabot di rumah (masa depan) Anda nanti, pembeli tetaplah raja. Meskipun ini jauh lebih sukar dari berbelanja ikan di pasar apung.


Satu lagi. Di dalam supermarket ilmu, pembeli memiliki daya beli yang sama. Tidak ada si kaya dengan kesombongannya ataupun si miskin dengan kedengkiannya. Setiap mahasiswa bebas memilih barangnya, serta berapa banyak yang akan dibawanya. Tidak akan ada yang membatasi pembeli satu untuk membawa barang sebanyak pembeli dua. Atau sesedikit pembeli tiga. Dan tidak ada alat tukar di sini, karena di tiap-tiap leher mahasiswa, sudah tertempel cap "Belanja Gratis Sepuasnya" yang disematkan oleh sepasang tua yang telah mereka kenal sedari kanak-kanak. Seharusnya mahasiswa sadar akan stempel itu. Seharusnya mereka tidak menghancurkan harapan sepasang tuanya dengan berbelanja barang-barang yang tidak perlu. Apalagi menyia-nyiakan dengan tidak membelanjakannya samasekali. Seharusnya mahasiswa menjadikan tanda itu sebagai kekuatan untuknya memilih, sekaligus energi untuk memikul belanjaan tersebut dalam si-keranjang-yang-sudah-berat.


Mahasiswa akan selalu bebas mengisi keranjangnya. Selagi belum selesai waktu belanjanya, mahasiswa bebas mengekspresikan kebebasannya. Selama masih menjadi member dalam supermarket ilmu, seorang manusia boleh melakukan apa saja. Namun ingat. Di sinilah tempat paling pas untuk menjadi gila.

Selasa, 02 November 2010

Serahkan Tulisanmu Kepada Dunia

Senin, 1 November 2010


Tulisan adalah karya intelektual seorang yang berpendidikan. Itu disampaikan dengan cukup baik dan mengena (bagi saya) oleh dosen kewirausahaan pagi ini. Saya mendapati ada 3 poin yang dapat dipetik dari apa yang beliau ajarkan hari ini.




Pertama. Seorang yang pandai atau mengaku pandai harus berani mengemukakan pemikirannya. Tak peduli seberapa baik atau buruk pemikiran itu. Yang utama adalah beranikan diri untuk mengemukakan pemikiran. Seperti kata Gandhi , "Tak peduli seberapa berpengaruh hal yang kamu lakukan terhadap orang lain, namun yang terpenting dari semuanya adalah: lakukan itu". Adalah benar bahwa sekecil apapun pemikiran yang Anda berikan, hal tersebut sesungguhnya membawa manfaat. Seburuk-buruk manfaat adalah manfaat bagi pelakunya sendiri. Maksud saya di sini, bahkan mungkin Anda pun dapat berkembang, menjadi lebih baik -dalam hal apapun- melalui pemikiran-pemikiran Anda.


Yang kedua adalah jangan ragu untuk berbagi pemikiran. Tuangkan pemikiran Anda kepada secarik kertas, maka Anda telah menjadikan pemikiran Anda sebagai sesuatu yang termuat, nyata, dan dapat dimengerti orang lain. Tidak peduli apakah pemikiran Anda akan dibaca orang lain, namun lakukan hal tersebut dengan sebaik mungkin. Jadikan semua pemikiran Anda adalah sesuatu yang dapat dibagi dengan sesama, meskipun tidak ada orang yang mau menerima kebaikan Anda itu. Biarkan saja, karena sekasar apapun manfaat yang terlihat, masih ada detail yang dapat Anda sendiri rasakan. Mungkin saja Anda akan mendapati tulisan Anda setelah sekian lama dan saat itu adalah saat-saat di mana Anda telah pikun, lumpuh, dan kesulitan untuk mengingat. Anda akan bangga dengan itu -sejelek apapun yang Anda tulis -pikirkan. Maria pernah berkata, "Tidak penting seberapa besar hal yang kamu lakukan, namun yang penting adalah melakukan hal tersebut dengan sepenuh hati -meskipun itu bukan hal yang besar". Batasan-batasan tulisan tidak pernah ada, karena pemikiran manusia tidak pernah dibatasi. Bahkan ketika usia Anda adalah 50 tahun dan masih menulis cerita fiksi untuk anak TK, bukan masalah. Itulah mengapa dunia ini mengenal banyak sekali ragam tulisan. Itulah mengapa menusia kaya dan semakin kaya akan ilmu pengetahuan. Sekali lagi, jangan ragu untuk menulis, tulis dimana saja, dan jangan ragu. Terutama dengan banyaknya kertas elektronik seperti yang ada di zaman kita. Tulis pikiran Anda sekarang juga.


Lalu mengapa manusia harus menulis? Inilah poin ketiga yang turun dari sebuah peribahasa yang lagi-lagi klise, "Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan taring". Lalu manusia mati meninggalkan apa? Pemikiran. Manusia tidak bisa diawetkan (kecuali jasadnya). Padahal setiap manusia membawa hal-hal hebat yang alangkah sayang apabila ikut pergi ketika pemiliknya pergi. Saya sedang mebicarakan pemikiran manusia, yang tentu sayang apabila ikut mati ketika pemiliknya mati. Tidak banyak manusia-manusia dengan pemikiran hebat yang dilahirkan di dunia, namun blunder terbesar adalah membiarkan ide-ide tersebut ikut dibawa pergi oleh malaikat maut. Itulah mengapa karya-karya Da Vinci masih menjadi misteri hingga kini, dan tulisan Plato mengundang perhatian seluruh peneliti, ketika penciptanya telah mati dan tulisannya berhasil ditemukan. Boleh saja Anda mati, namun jangan biarkan pemikiran Anda ikut mati. Implementasikan, buatlah pemikiran Anda menjadi seuatu yang nyata, wujudkan dalam sebuah tulisan, sehingga seperti apapun pemikiran Anda, itu akan tetap tinggal di dunia ini. Menjadi pencerah bagi dunia anak cucu kita nanti -seberapa kecilpun sinarnya.


Tulisan adalah karya intelektual seorang yang berpendidikan. Jangan kecilkan arti pendidikan, karena siapapun pasti mengenyam pendidikannya sendiri. Itulah yang membuat dunia kaya, makin kaya, dan terus menerus bertambah kaya. Kaya akan pemikiran, kaya akan pengetahuan. Jadilah penyumbang kekayaan intelektual dunia ini.


Tulis pemikiran Anda sekarang juga!

Rabu, 27 Oktober 2010

Memahami Sesuatu yang Telah Menjadi Klise

Sudahkah anda memahami betul makna dari sebuah pesan mutiara (yang sangat klasik dan telah menjadi klise oleh bibir manusia) "Don't judge the book by it's cover" ?
Saya menemukan sebuah fakta yang bisa menjadi alat bagi kita sekalian mendalami makna dari pesan hidup yang brilian tersebut. Ini benar-benar fakta, artinya sungguh-sungguh terjadi di kehidupan manusia, bahkan dikenal oleh semua manusia di seluruh penjuru dunia.


Cara menikmati posting saya (yang repost ini) adalah cukup dengan memikirkan jawaban dari setiap pertanyaan dalam kasus yang saya tampilkan. Pikirkan baik-baik jawaban Anda sehingga Anda memperoleh makna dibalik cara sang pembuat asli tulisan ini menyampaikan pesannya melalui pertanyaan-pertanyaan. Setelah jawaban terpikirkan oleh Anda, maka silahkan Anda buka fakta sebenarnya dari pertanyaan tersebut.


Enjoy. 
Semoga siapapun Anda yang membaca dapat memahami betul arti dari sebuah pesan hidup yang entah diciptakan oleh siapa, namun (menurut saya) sangat-sangat brilian:


"Don't judge the book by it's cover".




--Kasus 1--
Bayangkan bahwa Anda hidup pada tahun 1700-an. Anda secara tak sengaja menemui seorang wanita yang sedang hamil. Wanita tersebut telah memiliki 8 orang anak. 3 orang di antaranya tuli, 2 orang buta, dan 1 orang mengalami keterbelakangan mental. Artinya, hanya 2 dari 8 orang anaknya lahir sebagai manusia normal.


Pertanyaannya adalah: Apakah Anda akan merekomendasikan wanita tersebut untuk menggugurkan bayi yang sedang dikandungnya?




--Kasus 2--
Bayangkan jika manusia di dunia berhasil menciptakan sistem untuk dipimpin oleh seorang yang sangat superior dan powerful serta dijunjung tinggi oleh semua suku, agama, dan etnis. Kita sebut pemimpin tersebut sebagai Presiden Dunia. Lalu dalam waktu, akan diadakan pemilihan umum calon presiden dunia untuk periode mendatang. Berikut adalah ketiga calon presiden dunia yang akan Anda pilih beserta behavior secara umum:


Kandidat A:
Bekerja sama dengan politisi yang tidak jujur dan konsultasi dengan astrologis. Ia memiliki dua orang istri. Ia juga perokok dan minum 8 - 10 botol martini per hari. Ia juga penyandang cacat kaki.

Kandidat B:
Ia dikeluarkan dari pekerjaannya 2 kali, selalu tidur sampai siang, pemakai opium waktu sekolah dan minum seperempat whiskey tiap malam.

Kandidat C:
Ia adalah pahlawan perang, vegetarian, tidak merokok, minum bir hanya kadang2, dan tidak pernah selingkuh..


Pertanyaannya adalah: Kandidat mana yang akan Anda pilih?




Lalu, inilah faktanya!




--Fakta dari Kasus 1--


Jika Anda menjawab Ya untuk merekomendasikan kepada wanita tersebut untuk melakukan aborsi, maka Anda telah membunuh seorang:


Beethoven.
Salah seorang musisi terbaik dalam sejarah umat manusia. Seorang jenius yang karya-karyanya telah memberi pengaruh besar terhadap dunia, meskipun mempunyai cacat dalam pendengaran.




--Fakta dari Kasus 2--


Jika Anda memilih kandidat A, berarti Anda telah memilih:




Franklin Delano Roosevelt
Presiden ke-32 Amerika Serikat dan satu-satunya presiden yang terpilih 4 kali dalam sejarah AS. Seorang lumpuh kaki yang mempunyai kegigihan dalam melawan rezim Nazi dan kekaisaran Jepang.




Jika Anda memilih kandidat B, berarti Anda telah memilih:




Winston Churchill
Seorang perdana menteri paling sukses dalam sejarah Britania Raya. Merupakan ahli strategi, orator ulung, diplomat, dan politisi terkemuka selama Perang Dunia Kedua.




Jika Anda memilih kandidat C, berarti Anda telah memilih:




Adolf Hitler
Kanselir sekaligus presiden Jerman dengan Partai Nazi sebagai tunggangannya dalam menguasai dunia. Seorang ahli strategi, orator handal, sekaligus pembantai paling kejam dalam sejarah dunia. Selama masa hidup rezimnya, kurang lebih ratusan ribu nyawa warga komunis, Yahudi, dan bangsa non-arya melayang oleh tangan besi Hitler.








Ingat.
Yang terlihat baik belum tentu baik.
Yang terlihat buruk belum tentu buruk.


Kapal Titanic yang mengesankan pada akhirnya tenggelam mengenaskan, namun bahtera Nuh yang sederhana menyelamatkan jutaan makhluk hidup di bumi.


Latar belakang, kekurangan, penampilan, tidak akan menghalangi apapun dan siapapun untuk menjadi berarti bagi banyak orang, selama Ia percaya pada ke-Maha Kuasa-an Allah SWT.


So, Don't judge the book by it's cover.


sumber

Minggu, 17 Oktober 2010

Indomie dan Anak Bangsa




Indomie membuat setiap orang bisa menyajikannya dengan tangannya sendiri. Sesuatu yang tidak menarik tidak akan dikerjakan. Apalagi kalau itu dari nol, yang dalam bahasa lain saya katakan masih ada unsur belajar di dalamnya. Namun rata-rata anak usia 10 tahun pun sudah bisa menyajikan Indomie. Berarti Indomie menarik, bukan?

Saya tergila-gila pada Indomie. Ia punya segala-galanya untuk dijadikan idola tiap orang. Rasanya unik, penyajiannya cepat, dan harganya murah. Tidak masalah Indomie itu racun, selama kita masih punya antibody dan tahu batasan.  Racun adalah solusi bagi instannya Indomie. Kalau tidak mau makan yang beracun, ya masak saja mie dengan bumbu-bumbu dapur nenek. Racik saja bawang putih, bawang merah, garam, ketumbar, dan segala tetek bengeknya. Jika perlu, buat dulu mie nya dari terigu. Namun itu tidak cepat, tidak mudah. Makanya orang menciptakan yang cepat, yang mudah.


Indomie memang enak, kok. Apapun zat berbahaya yang Ia kandung. Sudah pernah menyantap Indomie tanpa dimasak? Tumbuk mienya selagi kemasan belum dibuka, lalu campurkan semua bumbu dan kecap sausnya ke dalam mie yang masih keras-keras itu. Wow, itu lebih nikmat dari Mie Kremez. Hajar saja MSG nya, telan saja mie beserta formalinnya, atau semua pengawet-pengawetnya. Toh kita masih tahu batasan dan punya antibody.

Orang bilang Indomie membuat otak menciut. Namun Indomie juga dimakan oleh mahasiswa-mahasiswi. Setelah makan Indomie, belajar saja yang tekun. Kalau Indomie mengurangi, maka belajar menambah. Nol kan jadinya. Jadi tidak ada ruang untuk menjadikan Indomie sebagai biang kegagalan. Kenyataannya memang belum ada pelajar yang DO karena kebanyakan makan Indomie.

Pernah malam-malam kelaparan saat semua warung makan telah tutup? Sebelum 14045 ada nih. Bisa jadi orang-orang yang mengalami itu merasa akan segera mati. Tapi tenang, masak saja Indomie. Pikiran akan mati pun segera pergi. Lalu bagaimana dengan korban-korban bencana alam? Bukankah mereka acap kali dibantu dengan kiriman bahan makanan yang ternyata adalah Indomie? Kenyataannya memang Indomie telah menyelamatkan banyak nyawa, bukan sebaliknya.


Mikir kok susah banget. Hehe.

Rabu, 13 Oktober 2010

Sepenggal Tanya Untuk Sutradara Mimpi

Untuk sutradara mimpi,


Aku tahu kau bukan penyusun cerita dengan kemampuan baik. Kau berkisah kepadaku dengan buruk. Ceritamu melompat-lompat, tak beratur.
Namun tak pernah aku peduli. Untuk sekian tahun, buah karyamu membuat tidurku berwarna.
Namun apa yang kau tunjukkan padaku memantik sepenggal tanya di sini.
Mengapa terus ku mimpikan Dia?


Hey sutradara mimpi, seperti apa hubungan kita?
Kau sutradara, aku penonton.
Kau yang mencipta, aku yang menikmati.
Kau membaca seleraku, namun aku tak punya apa-apa untuk mengusik keasyikanmu.
Kau berharap agar aku tergila-gila kepada ciptaanmu.
Apakah kau menampilkannya, hanya karena Dia sedang memenuhi antusiasmeku saat ini?


Hey sutradara mimpi, seperti apa hubungan kita?
Kau sutradara, aku produser.
Kau yang menciptakan, aku yang mendanai.
Kau bekerja atas keputusanku.
Lalu apa aku selalu menyetujui segala ide yang kau ajukan?


Hey sutradara mimpi, seperti apa hubungan kita?
Kau sutradara, aku juru casting.
Kau yang menciptakan, aku yang mengusulkan siapa yang bermain,dan itu Dia.
Kau harus berkata 'ya' tentang rekomendasi dariku, namun kau berhak menolak itu.
Pada awalnya aku yang membawakannya untukmu, tapi apa kau kecanduan untuk memainkannya?


Hey sutradara mimpi, serumit apa hubungan kita?
Di bagian mana dalam tubuhku, kau tinggal?
Sebesar apa aku mampu memengaruhimu?
Dan mengapa tak bosan kau mainkan Dia?


Mungkinkah kau adalah aku sendiri?



Untuk sutradara mimpi.
Karena pagi ini, aku  kembali memimpikan Dia.

Senin, 11 Oktober 2010

Nyobain Mata Normal (Dulu) (Lagi)

Pake kacamata itu ngga enak. Kalo luas daerah pandang seorang bermata normal kita anggap 100%, maka orang berkacamata adalah 65%. Segalanya terhalang. Begitu yang terjadi pada mata gue. Gue terpaksa jadi manusia jujur, kalo ga mau disebut kuda jalan ganesha yang ngga bisa ngelirik kiri kanan. Lirik contekan ngga bisa, lirik cewe cantik ngga bisa, lirik dosen yang cakep juga ga bisa (soalnya emang ngga ada objeknya). Kiranya bener kata Sherina Munaf pas lagi nyanyi ama Derby Romero, lirik emang tanda tak mampu.


Dan gue pun telah mengalami penderitaan ini selama kurang lebih 5 tahun. Terhitung sejak kelas 2 SMA gue make kacamata. Dulu, SMA gue cukup nyaman dengan make kacamata pas di kelas doang. Tapi ternyata minus gue nambahnya gila-gilaan. Nyokap gue mencak-mencak, soalnya dia ga paham sama filosofi "Semakin pinter pelajar, kacamatanya semakin tebel". Sampai akhirnya, waktu gue ngga lagi banyak tingkah polah kaya di SMA, gue make kacamata gue itu terus. Setelah jalan 2 tahun di bangku kuliah ini, gue sadar kalo gue mulai identik dengan kacamata. Sempet gue dibilang Ibu2 penjual nasi, "Wah, Mas mirip Afgan yah?". Heh. "Tapi kurang putih dikit, kurang gendut dikit, kurang bla..bla..bla..". Yee itu mah tukang parkir di Nyawang juga lo bilang gitu juga bener. Langsung gue bayar tuh nasi ama sekalian uang tutup mulut buat tiga minggu. Emang sih gue lumayan sering dibilang begitu, ngga sama si ibu-ibu penjual nasi itu doang. Sama orang yang baru gue kenal, temen-temen gue, tetangga, ibu-ibu di pinggir jalan. Dan kalo gue teliti yang ngomong gue begitu tuh cuman orang tua, lalu dengan sangat mudah gue simpulin si orang-orang itu emang daya penglihatannya udah kaya opletnya Bang Mandra.


Oke, gue udah cukup sabar pake kacamata. Gue udah lelah. Gue rindu mata gue yang kaya dulu. Walopun mata gue dibilang mirip mata cewek (ngga tau kenapa, tapi gue suka dibilang begitu). Walopun ada temen gue yang takut ngeliat mata gue kalo ngga lagi pake kacamata (emang gue Sasuke?). Gue pengen seenggaknya sehari dua hari nyobain ngga pake kacamata, tapi ngga juga kehilangan kemampuan scanning gue akan cewe-cewe cantik di Campus Center. Lalu gue putuskan untuk nyobain softlens.


Pas gue beli nih. Dibukalah si tabung tempat softlens bening gue dikemas. Si-Mbak-Optik membuka nya, satu tabung yang sebelah kanan beres, doi tunjukin tuh softlensnya yang bening, hampir ngga keliatan. Lalu tabung kedua. Si-Mbak-Optik keliatan bingung, celingak-celinguk, puter puter tuh kepalanya, maen-maenin jarinya. Ternyata gue emang lagi liat video Senam Kesegaran Jasmani untuk manula. Kaga, serius nih, softlens baru gue ilang! Si Mbak-Optik ini jelas-jelas ngerasa takut dan bingung. Lalu gue bantu nyari pake jasa detektif, ya enggaklah. Syukurlah, setelah Si Mbak-Optik mandi kembang tiga belas ribu rupa, si softlens gue itu ketemu. Tapi ga tau gue di mana Si Mbak-Optik itu nemuinnya. Kayanya sih di rumah neneknya.


Gue cobain tuh softlens pertama-tama di mata kanan gue. Lancar, masuk dia. Lalu gue coba si softlens ilang di mata kiri. Masuk. Tapi rasanya aneh. Mata gue jadi ngga enak pas dipake mejem, kaya ada yang ganjel. Lalu disuruh dah sama Si-Mbak-Optik buat ngelepas. Gue turutin. Gue pasang lagi. Eh, masih aja ganjel. Sampe prosedur "pasang-lepas-bersihkan-pasang lagi" anjuran Si-Mbak-Optik itu gue lakuin ampe 5 kali, gue nyerah. Si-Mbak-Optik bilangnya sih, "Kalo masih awal-awal sih emang suka ngga enak gitu, Mas". Nah, lalu mata kanan gue kalainan nih ceritanya? Kok dia nyaman-nyaman aja? Gue mulai curiga nih ama Si-Mbak-Optik. Yaudahlah, gue paksain make, apalagi pas banget kacamata gue lagi diperbaiki, jadi gue harus make (mau lanjut kuliah juga ceritanya). Di jalan, gue ngeliat make mata kanan gue doang. Dalam hati, sialan nih, softelns kiri gue kayanya salah size nih.


Sampe kampus lagi, gue udah ngga betah banget tuh ama si softlens yang lagi unjuk rasa gara-gara dibiarin ilang. Gue coba ganti di toillet baru deket himpunan. Pas gue copot, eh si doi malah jatuh, untung ngga masuk ke closet nya. Bisa jadi softlens warna coklat ntar. Dan beruntung gue, si softlens gue yang barusan aja ilang untuk kedua kalinya dalam sehari itu gue temuin. Gue udah desperate. Udah, gue pake satu aja lah, toh masih bisa ngeliat juga. Gue masuk lagi ke kelas.


Sekian lama merhatiin dosen ngomong, gue ngerasa emang ngga enak tuh make softlens cuman satu. Kayanya mata lo tuh pincang banget. Satu hampir normal, satu lagi ngeliat kambing aja jadi kaya badak. Aneh banget. Dan gue juga ngerasa ga keren. Ga ambil pusing, gue keluar kelas terus gue pake lagi dah di WC Campus Center yang ada kacanya. Kepasang. Dan kayanya oke-oke aja. Lhoh, kok ngga kerasa ganjel ya? Enak-enak aja. Ternyata dari tadi si  softlens gue itu kebalik! Langsung gue telfon Dirjen Pekerjaan Umum buat ninjau ulang kinerja Si-Mbak-Optik. Ampas, mana ada orang optik makein barang dagan ke pelanggannya kebalik. Gue serem kalo-kalo Si-Mbak-Optik itu jualan daleman ama topi bayi, bisa-bisa kalo ponakan gue belanja ke sana terus pulang-pulang di kepalanya nempel kolor motif zebra sambil ngomong, "Om, keren kan topi akuh??".




Tapi gue cuman make itu softlens selama 2 hari. Gue ngerasa bahwa gue emang masih berjodoh ama yang namanya kacamata.Setiap gue ngaca di kaca himpunan. kayanya ada sesuatu yang ilang dari muka gue. Ternyata hari itu emang gue lupa bawa alis kanan. Gue ngerasa lebih matching kalo pake kacamata. Dan pake softlens tuh super ribet! Bisa abis waktu kuliah gue buat masang softlens. Setelah kacamata gue beres diperbaiki, yaudah. Selamat tinggal "mata normal-mata normal"an!!




Pesan moral:
Ngga semua yang lo pengen itu adalah yang lo butuh.
Make softlens itu kalo lo bener-bener care aja ama kebersihan.
Jadi penjaga optik kayanya ngga susah.

Minggu, 03 Oktober 2010

Angin Musim Timur

Kamu adalah ujung mata kompas khayalan
Yang mungkin sedang membawaku ke sebuah arah yang tentu.


Kamu adalah sang mentari terbit
Yang mungkin membuatku mampu membedakan timur, tidak keliru


Kamu adalah rambu hijau yang sia-sia, di kejauhan
Karena padamu, yang kulihat hanya satu direksi
Namun mungkin kau menuntunku dengan satu-satunya informasi yang kaupunya itu

Kamu adalah angin musim timur yang bertiup
Yang mungkin menunjukkanku, seorang penjelajah laut, di mana daratan Asia berada


Kamu adalah rasi orion di gelap angkasa
Yang mungkin karenamu, aku tahu, ke arah mana akan kubentangkan sejadah hidup




Namun kamu hanyalah mata kompas khayalan
Kamu hanya penunjukku
Bahkan itu pun dalam angan-angan
Aku menganggapmu begitu, karena menyerah dengan jarakmu yang terlampau jauh
Aku tak tahu kau sejauh apa, namun membayangkannya pun, membuatku ingin meyudahi segala usahaku
Membayangkan sejauh apa kau berdiri
Dan semungkin apa kau kujangkau


Aku akan membayangkanmu, tetap sebagai mata kompasku
Kau akan tetap menjadi penuntun bagiku, untuk menuju satu arah yang sendiri ku tak tahu
Namun aku percaya, kau sedang menuntunku ke arah yang lebih dekat dengan kamu yang sebenarnya
Mendekat, dan dekat




Kamu, mata kompas yang tak pernah kupegang

Kamis, 30 September 2010

Straddling Bus

Sebuah moda transportasi massal dalam kota diencanakan akan segera dibangun di Beijing dan Shanghai, China. Inovasi baru dalam dunia transportasi massal ini menurutku sangat berbeda dari moda-moda yang  pernah ada sebelumnya. Sekarang, berita mengenai ini sudah mulai bermunculan di televisi. Namun aku telah membacanya sekian waktu yang lalu, dan sejak membacanya pertama kali, kurasa ini sebuah alat angkut manusia yang luar biasa tepat untuk memecahkan masalah kemacetan. Namanya adalah straddling bus.




Straddling Bus
Artinya kurang lebih adalah bus mengangkang. Straddling bus adalah sebuah sarana transportasi massal dalam kota yang mampu melintasi keramaian jalan. Ya, maksud dari kata melintasi di sini adalah si bus ngangkang ini menggunakan lahan yang sama dengan jalanan yang macet, namun tanpa sedikitpun terkena imbas dari kemacetan tersebut.


Idenya adalah melintas di atas kendaraan-kendaraan di jalanan. Bukan diberikan keistimewaan jalur khusus seperti busway, bukan dibuatkan jalur bawah tanah yang mahal seperti subway. Straddling bus adalah kombinasi keduanya.




Sarana transportasi berteknologi tinggi ini menggunakan rel sebagai jalurnya melaju. Rel ini dipasang di tepian jalur kendaraan (jalan raya). Penumpang dibawa di bagian badan yang terletak di atas kaki-kakinya. Kaki-kaki ini setinggi 4 meter, sehingga mobil-mobil jenis APV bisa melintas/dilintasi dibawahnya.Karena kemampuannya untuk dilintasi dan melintasi inilah, dipastikan bahwa straddling bus bebas macet!




Kelebihan lainnya adalah straddling bus menggunakan energi surya, bukan bahan bakar fosil, sehingga ramah lingkungan. Pengisian energi pun dilakukan dengan sangat efektif. Di setiap pemberhentian atau halte, terdapat semacam panel surya berbentuk seperti set lampu jalan yang mengirimkan energi ke badan atas bus tiap kali berhenti (charge). Energi ini disesuaikan sehingga tidak akan habis sampai di pemberhentian berikutnya, untuk di sana diisi kembali. Sangat hemat bukan?


Fakta menarik lainnya adalah mengenai kapasitas angkut dan daya laju. Straddling bus mampu mengangkut 1800 penumpang setiap kali jalan, dengan kecepatan maksimal 60-70 km/jam. Juga persiapan operasi si bus ngangkang ini (termasuk rel, sistem lampu lalu lintas, dan sarananya) lebih cepat 3 kali dari pembuatan busway beserta sistemnya, serta 1/10 lebih murah dari pembuatan jalur bawah tanah, subway. Selain itu, jika bisa digunakan sesuai dengan kapasitasnya, maka straddling bus dapat menghemat 860 ton bensin tiap tahunnya, dan menekan emisi gas buang sampai 2640 ton karbon.


Tonton videonya di sini




Murah, cepat, instan, irit, dan tentu saja bebas hambatan. Indonesia banget kan?
Jadi kapan giliran kita bos?

Minggu, 26 September 2010

Sampai Kapan Boleh Salah?

Menangis.
Menangis adalah ungkapan perasaan. Menangis, bagi beberapa pria mungkin adalah kesalahan.
Ketika kita, pria atau wanita, seorang biduan atau juru penggal, lahir ke dunia, kita menangis.
Tapi kita boleh menangis. Menangis di usia itu adalah kebutuhan. Menangis adalah sebuah proses menjadi manusia kuat.
Kita boleh menangis. Kita boleh "salah".


Berbohong.
Berbohong itu salah.
Ketika kita di bangku TK, kita berbohong untuk menutupi puasa kita yang telah batal.
Tahukah Ibu kita? Mungkin.-bisa jadi Ibu pun pernah melakukannya-
Tapi kita sedang belajar. Kita berbohong demi sebuah proses belajar ibadah yang kita sendiri tak sadari. Dan Ibu pun tersenyum di saat yang sama ketika kita tertawa karena merasa berhasil mengelabui Ibu.
Kita boleh bohong. Kita boleh "salah".


Mencuri.
Mencuri itu mutlak salah.
Ketika kita pulang sekolah, kita melihat mangga yang ranum menggelantung di pohon tetangga. Lalu kita mengambilnya, bersama-sama, tanpa membangunkan yang memilikinya.
Namun mencuri di sana adalah proses pengenalan kepada kita akan nilai-nilai kehidupan. Tentang kerjasama, kecakapan, melawan rasa takut, dan berbagi.
Kita boleh mencuri. Kita boleh "salah".


Berkelit.
Berkelit bisa benar bisa salah.
Saat kita menabrakkan mobil Ayah, kita berkelit meyalahkan pihak lain-lah yang menyebabkan kecelakaan.
Berkelit di sana adalah tindak defensif. Berkelit adalah penutup kebenaran yang sempurna. Namun berkelit ada dalam proses pembentukan kedewasaan kita dalam berterus terang.
Kita pun boleh berkelit. Kita boleh "salah".


Membunuh.
Membunuh jelas salah.
Membunuh untuk membela diri, membunuh untuk kenyamanan pribadi, membunuh untuk menghancurkan usaha pesaing.
Namun membunuh yang bagaimanapun bisa jadi merupakan sebuah proses untuk kembali ke jalan Tuhan. Mengenal Tuhan lebih jauh. Memutar kendali kehidupan menuju jalan yang secara hakiki, benar.
Kita boleh membunuh. Kita boleh "salah".




Kesalahan adalah sebuah hal yang kecil dalam hidup. Beberapa buah kesalahan ada dalam proses untuk menuju sebuah kebenaran. Kesalahan itu menyakitkan, namun suatu saat kita akan benar setelah melakukan kesalahan. Kesalahan adalah cara yang alami bagi manusia yang hendak menggapai kebenaran.
Salahlah, belajarlah, ketika gagal, maka salahlah sekali lagi, begitu seterusnya, dan menjadilah benar.


Lalu pertanyaannya. Sampai kapan kita ikut dalam proses itu?
Sampai kapan kita akan belajar di atas penderitaan manusia yang lain?
Perlukah orang lain menanggung kesakitan demi kebenaran yang ingin kita tuju?
Demi kebaikan kita sendiri?


"Sampai kapan kita boleh salah?"

My Kind of Girl

Iseng-iseng buka notes di facebook yang hampir setahun gak gw buka, eh nemu ini.
Ternyata lumayan lah bisa buat senyum-senyum dikit. Haha.




My Kind of Dewe (Girl..Girl)

Copy and paste this into your notes, delete my answers,
type in your answers and tag 20 of your friends here in facebook to answer this. Then see what happens.


if you a guy- post this as my kind of girl..
if your a girl- post it as my kind of boy..


1. Do you need him/her to be good looking?
- mendingan gini..kadang keliatan biasa..kadang cuakeeeep..keep..keep.


2. Smart?
- tentu!!


3. Preferred age?
- lebih muda dong..jgn mpe selisih 6 taun tapi..


4. Preferred height?
- pendekan dari aku lah..


5. How about sense of humor?
- harus..soalnya aku bukan pelawak..aku manajer para pelawak..haha


6. How about piercings?
- no space 4 dustek dustek..


7. Accepts you for who you are?
- awas kalo enggak!


8. Pink hair?
- kayak kuda di gasibu dong..


9. Mushy or no?
- jangan terlalu


10. Thin or fat?
- thin..but not as me


11. Black, Brown or White (skin color)?
- putih..kalo item ma item mau jadi apa ntar..haha


12. Long hair or short hair?
- i'm the fans of the both


13. Plastic or metal?
- pertanyaan gak penting


14. Smells good?
- of course!!!


15. Smoker?
- emm..emm..mbak itu di belakang ada apa ya...
--kabuurrr!!!!--


16. Drinker?
- mati aja


17. Girl/Boy-next-door type?
- haha..boleh lah kayak bramcok..


18. Muscular?
- mandiri aja..bukan muscular


19. Plays piano?
- gak ngaruh se..tp pasti keren


20. Plays bass and/or acoustic guitar?
- prisa adinda dong..


21. Plays violin?
- aduh..kupingku gak nangkep gituan..


22. Sings very good?
- nice..buat temen duet


23. Vain?
- bentar..nyari artinya dulu..
kayanya gak deh..


24. With glasses?
- no problem


25. With braces?
- yg lucu2 aja..jgn yg berbalut besi lancip..haha


26. Shy type?
- boleh..tp kalo sama prianya gak boleh..


27. Rebel or good boy/girl?
- good


28. Active or passive?
- active but passive


29. Tight or bomb?
- oke..sekarang ada 2 pertanyaan gak penting..


30. Singer or dancer?
- singer..kan buat temen duet..


31. stunner?
- harus..kan lawannya magina!


32. Hiphop?
- haha..gak mbayanagin


33. Earrings?
- better yes.


34. Mr/Ms. count-my-ex-boyfriends/girlfriends-until-you-drop?
- gak lah..


35. Dimples?
- ternyata artinya lesung pipi..pasti manis deh..^^


36. Bookworm?
- jgn mpe lupa bernafas pokoknya


37. Mr/Ms. love letter?
- gak usah!


38. Playful?
- oke..


39. Flirt?
- hanya padaku ya..


40. Poem writer?
- enggaak..ntar malah gw ikutin kontes lagi..


41. Serious?
- santai aja...


43. Painter?
- wow!!


44. Religious?
- 100% harus


45. Someone who likes to tease people?
- jangan..belom siap senjata nih..


46. Computer games geek? Or internet freak?
- haha..pertanyaan goblok..tp gak sampe gak penting


47. Speaks 20 languages?
- emangnya presenter


48. Loyal or faithful?
- both


49. good kisser?
- haah..mungkin iya..hihihi


50. loves children??
- pastinyaaaa!!!




Haha.. Ternyata gw pernah sebego ini.

Kamis, 09 September 2010

Aku Selalu Ingin Pulang

Manusia perantau mempunyai perasaan lebih kepada apa yang disebut dengan liburan. Libur, bagi mereka, bukan hanya hari-hari indah pelepas lelah dan pemutus bosan akan kuliah. Seperti yang kita tahu, mayoritas manusia-manusia perantau akan melakukan aktivitas pulang kampung di saat-saat libur kuliah. Inilah yang membuat feeling mereka akan hari libur itu terasa berbeda. Ya, pulang kampung artinya kembali ke kota asal, artinya bertemu dengan keluarga serta kawan lama. Hasrat untuk melepas lelah pun diakumulasi dengan keinginan untuk melepas kangen. Kangen akan apapun. Suasana kota, sikap orang-orang di sana, tawa duka keluarga, pujaan hati, semuanya. Betapa bahagia saat seorang manusia yang sekian lama pergi jauh dari ibunya tempat dulu ia dikandung dan menyusu, dari ayahnya tempat dulu ia meminta segala sesuatu, dari keluarganya tempat dulu ia bertumbuh, dari kawan-kawannya tempat dulu ia menyusun cerita hidup, pada suatu waktu yang relatif singkat dapat kembali. Betapa libur menjadi satu momen yang indah bagi manusia-manusia perantau.


Aku seperti kebanyakan perantau. Memperoleh makna dari hari libur lewat bagaimana sulitnya menyisihkan uang makan untuk membeli tiket, bagaimana susahnya mencari tiket pulang, bagaimana membosankannya perjalanan yang pulang, hingga bagaimana bahagianya dapat melihat wajah-wajah orang yang sekian lama menanti aku pulang, dan sampai rumah. Bahkan apa yang disebut kehangatan keluarga baru aku dapatkan setelah memutuskan untuk hidup di kota orang seperti sekarang. Perasaan yang tidak pernah ada selama aku hidup sendiri. Kiranya benar kata orang, sesuatu akan terasa nilainya saat ia tidak ada di sisimu.


Oh, mungkin aku beruntung bisa menjadi perantau. Beruntung bisa memperoleh apa yang sebelumnya tidak pernah aku peroleh. Merasakan apa yang sebelumnya tak bisa kurasakan.Memikirkan apa yang tak pernah aku coba untuk memikirkan. Ataukah ini cara yang Tuhan lakukan untuk meng-up grade aku? Karena aku kelewat tolol? Kelewat tak berperasaan? Bisa jadi. Sejelek-jeleknya aku beruntung karena telah  di-upgrade. Aku beruntung bisa menjadi perantau. Aku ingin pulang di setiap kesempatan. Membawa cerita untuk orang-orang itu. Cerita yang mungkin tidak perlu ada karena kebahagiaan mereka cukup hanya dengan melihat sang pencerita, sebagaimana bahagianya aku melihat mereka.




Tunggu aku selalu.
Ibu,
Ayah,
semuanya.


Karena aku akan selalu ingin pulang.

Selasa, 07 September 2010

Metode Belajar 24 Jam

Sekian minggu yang lalu adalah hari pertama kuliah semester 5. Yang terbesit dalam benak tentu saja harapan akan pencapaian yang lebih baik. Semester baru, resolusi baru, semangat baru, dan (semoga) nilai baru. Tentu saja nilai. Indeks Prestasi. Yang lebih baik.


Di luar harapan yang murni datang dalam diri, entah mengapa kutemukan semangat lain untuk lebih giat lagi menekuni kewajiban akademis ini. Entah teman-teman, entah himpunan, entah yang lain-lain. Kompleksitas itu mungkin jawaban yang paling benar.


Hingga pada jam terakhir pada hari pertama yang  indah tersebut, dalam kelas Struktur Beton....


Sebuah buku tak lebih dari 40 halaman, dengan ukuran letter atau apalah, warna cover dominan biru dibagikan kepada seluruh kelas. "Metode Belajar 24 Jam". Dan apa yang akan kau ketahui? Buku itu wajib kami beli. What the F.


Itu adalah buku karya dosen pengajar di kelas yang kumaksud. Isinya terlihat jelas dari sang judul, kurang lebih adalah sebuah metode manajemen waktu dengan belajar sebagai prioritas utama sebagai kegiatan yang dilakukan dan yang akan dicapai. Maksudnya adalah, keberhasilan akademis yang akan digapai, dengan cara belajar segila mungkin. Bagi saya pribadi, ini bukanlah manajemen waktu.


Sama saja dengan mengisi bak mandi dengan sebuah ember, satu persatu guyuran, menerus selama 3 jam.Memang bak mandi akan terisi penuh, namun energi yang dikeluarkan si manusia juga akan banyak. Intens, namun dengan menghilangkan segala kegiatan lain bukanlah suatu implementasi akan ide majemuk bernama manajemen waktu. Itu sudah jelas merupakan metode untuk mencapai sesuatu, namun tanpa pertimbangan optimalisasi. Tidak juga efisien. Apalagi ini menyangkut objek berwujud manusia. Karena parameter optimal dan efisien setiap manusia tidak akan sama. Jika dikembalikan ke analogi yang sudah dibuat, maka metodenya adalah 'mengisi bak mandi menggunakan ember masing-masing'. Tanpa kita cermati, 'ember' setiap orang pun tidak akan sama. Ada yang berlubang di sana-sini, ada yang terlampau berat karena terbuat dari material berat, ada yang volumenya terus membesar secara eksponensial setiap kali isinya dituangkan, dan sebagainya dan sebagainya. Sangat variatif, sangat relatif, sukar untuk direratakan dengan (misal) sebuah hukum atau persamaan.


Kasusnya adalah, kami, para mahasiswa yang ditodong untuk wajib membeli buku itu, maka secara otomatis akan timbul paksaan untuk mengkonsumsi apa yang ada didalamnya. Yang artinya tentu saja adalah kami harus mematuhi metode yang si Bapak punya. Lalu mengapa dengan metodenya? Metodenya adalah kami diharuskan menyediakan 8 (DELAPAN) jam tiap hari Senin s/d Jumat sebagai slot waktu untuk belajar. 8 jam tersebut adalah total waktu tiap hari yang kita lakukan untuk kuliah di kelas, ditambah belajar mandiri. Pokoknya, 8 jam itu harus kau gunakan untuk belajar! Atau jika dianagramkan, sehari kau harus belajar selama 8 jam!


Tentu saja ini menggelitik otak.
Pertama; kasus penodongan. Yang terjadi sebenarnya tak lain adalah transaksi jual beli. Perpindahan barang dari satu pihak ke pihak lain, dengan uang sebagai alat tukarnya. Si Bapak menjual buku, dan kami calon pembelinya. Ekonomi dasar banget. Dan jika kami suka dengan barang si Bapak, maka kami akan dengan sadar membelinya. Dari pihak kami ataupun si Bapak pun tidak ada yang tidak waras, sudah dewasa, dan seharusnya tidak ada paksaan dalam hal ini. Tapi yang terjadi pada kami adalah lain. Pengwajiban mendekati pemaksaan. Oke, Bapak menjual sebuah ide, metode. Namun belum tentu kami suka dengan metode Bapak yang Bapak jual dalam bentuk buku itu. Dan setahu saya pembeli berkuasa.


Kedua; kasus kebebasan mahasiswa. Menurut saya, kuliah adalah tempat menimba ilmu, mencari jati diri, dan menemukan jalan terbaik. Semuanya independen, idealnya tidak ada intervensi dari pihak manapun. 'Menemukan jalan terbaik' yang dimaksud adalah, dengan kondisi fisik, psikis, kesibukan, prioritas, dll yang berbeda-beda pada setiap orang, diharapkan semuanya mampu menjalankan fungsi utamanya sebagai mahasiswa, belajar. Lalu dengan kewajiban yang sama ini, tentu hasil yang dicapai setiap orang adalah sama, prestasi akademis. Namun dengan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi seperti tersebut, maka setiap orang pun harus bisa menemukan metode yang paling tepat bagi dirinya sendiri. Ada mahasiswa yang memaksimalkan peran dosen, ada yang harus belajar seharisemalamsuntuk sebelum ujian, ada yang punya prioritas ini itu dan menomorsekiankan belajar secara rutin, bahkan ada yang cukup hanya membuka catatan ketika waktu mulai ujian kurang 45 menit. Mahasiswa adalah individu-individu dewasa yang telah mengerti akan dirinya sendiri. Bahkan dengan mengerti itu, mahasiswa telah melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh tiap-tiap manusia. Lalu apakah dengan paksaan, metode yang membelenggu alam sadar kita, bisa dikatakan individu itu akan mampu mencapai titik optimalnya? Dan apakah itu berbeda dengan perlakuan seorang ibu kepada anaknya yang masih TK?




Yang pertama agaknya yang menjadi sumber kegelian pikiran saya. Jikalau tidak ada paksaan, maka semuanya akan menjadi normal. Dan kegelian kedua pun tak akan terjadi, bahkan terpikirkan. Tanpa mengurangi hormat Saya kepada Bapak, saya ingin berujar sesuatu.


Pak, Bapak adalah orang yang sangat-sangat hebat. Dan Bapak sama sekali tak memerlukan pembuktian untuk alasan apapun. Tak terkecuali pada kami. Kami sadar akan niat Bapak yang baik, namun mungkin cara Bapak kurang pada tempatnya. Kami tahu kapabilitas Bapak, dan kami ingin menjadi mahasiswa Bapak, mendengarkan semua cerita dan nasihat Bapak untuk menjadi sebaik Bapak, menjadi apa yang Bapak harapkan kami menjadi seperti apa, mengejawantahkan ilmu Bapak yang luar biasa hebat, namun satu ...


Dengan cara kami sendiri.


Salam hangat, Pak.