Sabtu, 02 Juni 2012

Kami Bicara Jodoh

Ini dibahas di studio TA tercinta. Salah satu momen paling berkualitas selama saya berstatus sebagai mahasiswa...


Bahwa kami adalah mahasiswa tingkat akhir, calon sarjana, calon karyawan ataupun usahawan, dan tentu saja bahwa kami adalah calon suami/ menantu/ bahkan ayah. Dengan dasar itulah kami berdiskusi tentang pekerjaan dan . . . Pernikahan.

Informasi, pendapat, ataupun kejadian dilontarkan oleh masing-masing dari kami. Dengan modal pengetahuan agama, pengalaman, nalar, dan logika, maka kami pun bertukar opini. Memperkuat masing-masing pemahaman tentang topik yang malam itu terasa begitu menarik sekaligus mendebarkan. Berikut adalah beberapa poin menggelitik hasil diskusi kami.
  1. Katanya, jodoh itu di tangan Tuhan. Maka, siapa pun pasangan kita, dialah yang terbaik untuk kita.
  2. Tidak logis jika tiba-tiba di tengah keramaian kita bertemu dengan jodoh yang kita idam-idamkan, dan ia pun dengan tiba-tiba cinta mati kepada kita. Manusia tetap butuh usaha, ikhtiar. 
  3. Kata seorang kawan, dalam Islam, laki-laki dan wanita itu "dijodohkan" melalui wali atau gurunya. Proses seleksi ditempuh melalui perantara, sebagaimana biro jodoh. Proses yang bebas dari segala bentuk zina itu namanya ta'aruf.
  4. Kini, proses tersebut dilakukan langsung oleh pasangan yang bersangkutan. Masa-masa mengenal, memahami, menjajaki itu kerap disebut sebagai pacaran



Mengingat kami bukanlah pemuda-pemuda yang hidup di zaman Siti Nurbaya, maka secara otomatis kami punya kecenderungan melakoni proses pacaran. Dengan membandingkan dengan 3 poin sebelumnya, maka kami pun sadar bahwa pacaran tidak ubahnya merupakan "bentuk ikhtiar, upaya yang dilakukan untuk memperoleh pasangan terbaik, sehingga di sana seharusnya terjadi proses seleksi". 

Ya, malam itu kami sadar, sekaligus menambahkan sedikit kesimpulan tentang pacaran. Bahwa sebenarnya pacaran itu:
  1. Bukan hanya proses seleksi, namun juga proses menyesuaikan diri, sikap, dan pandangan. Sah-sah saja jika sang pria atau wanita harus mengalah, menurunkan egoisme, ataupun mengubah sikapnya jika memang pada akhirnya proses tersebut menghasilkan sepasang pria-wanita yang cocok luar dalam, sebagaimana dua keping puzzle yang unik namun saling melengkapi. 
  2. Harusnya diarahkan kepada pernikahan. Karena pacaran tak ubahnya ta'aruf yang terpaksa dilakukan sendiri oleh pria dan wanita untuk menekan deviasi akibat rantai perjodohan yang panjang.
  3. Jika proses penyesuaian terlalu lama, terlalu melelahkan karena terlalu banyak sikap dan pandangan yang harus diubah, maka artinya proses tersebut telah sampai pada batasnya. Seharusnya hubungan tersebut segera dihentikan, lalu mencari  pasangan yang baru. Ingat, di sini kita sedang ihktiar untuk mencari jodoh terbaik.
Kesimpulan tersebut membuka mata kami tentang bagaimana menjalin hubungan yang baik dengan pasangan masing-masing. Meskipun secara logika itu sangat benar, namun pada kenyataannya menganggap pacaran adalah proses iterasi sangatlah sulit, terutama karena di dalam proses tersebut, perasaan (atau hati) diikutsertakan. Dan saya di sini hanyalah seseorang yang ingin membagi kesimpulan kami, tentang pacaran yang baik dan positif. Semoga ini bermanfaat, khususnya buat saya sendiri. Haha.

Sabtu, 21 April 2012

Kepekaan Jaman Modern

Sebuah pesan dari senior saya di unit Loedroek, "Anak jaman sekarang ini semakin sensitif. Sedikit-sedikit minta maaf, sedikit-sedikit bilang terima kasih. Itu kelihatan baik, namun sebenarnya tidak. Hati-hati dengan terlalu sensitif". Pesan yang sukar untuk dipahami. 


Menurutku, benar jika di zaman sekarang anak muda menjadi semakin sensitif. Mudahnya berkomunikasi menggunakan satelit atau kabel memperkecil intensitas orang untuk bertukar sapa secara langsung. Semakin jarang kita bertatap muka dengan orang lain, semakin sedikit waktu kita untuk memahami ekspresi manusia. Seragamnya susunan alfabet di monitor membuat kita semakin tidak peka terhadap perasaan yang ada di balik tinggi rendahnya intonasi bicara seseorang. Sehingga setiap kali bertemu, akan banyak sekali permintaan maaf atau ucapan terima kasih sebagai cara untuk menghindari kesalahan dalam menangkap ekspresi lawan bicara. Kita semakin tidak sensitif terhadap perasaan orang, namun bertindak terlalu sensitif untuk mengantisipasi kekurangan kita itu.




Ada bentuk ketidaksensitifan lain yang menurutku hanya ada pada manusia zaman sekarang. Lagi-lagi akar masalahnya ada pada kuantitas waktu manusia untuk bersua muka. Kini manusia semakin pandai, sehingga bisa memperhitungkan kapan waktu terbaik untuk menyapa langsung orang-orang di sekitar kita. Kita menjadi terlalu pamrih, mempertimbangkan untung dan rugi dari setiap sumber daya yang kita habiskan, tak terkecuali waktu. Jelas bahwa pertemuan yang sekejap dan terlalu kental dengan unsur kepentingan akan membawa pengaruh negatif. Sekarang, orang-orang tidak lagi sensitif terhadap dampak buruk dari perbuatannya terhadap orang lain, meskipun mereka semakin pandai dan semakin taat. Bukankah Islam mengajarkan hablu minaallah dan hablu minaannas? Hati-hati dengan sikap oportunis, kawan.


Berjumpalah dengan kawan, berkomunikasilah dengan ekspresi yang tanpa batas. Marahlah, menangislah, kita belajar lagi tentang kepekaan manusia. Zaman boleh serba cepat, namun kita dilarang membuang muka dari kesengsaraan orang lain. Waktu yang ada di dunia bukan semata-mata untuk kemajuan diri atau hubungan dengan Sang Pencipta, melainkan juga untuk memikirkan manusia lain di sekitar kita. Ayo kawan, kita tumbuhkan kembali sikap sensitif manusia yang sebenar-benarnya!

Kamis, 16 Februari 2012

Warung Pinggir Jalan

Warung pinggir jalan adalah milik pedagang kaki lima, memanfaatkan kelengangan trotoar sebagai lokasi jual beli, dan nyaris semua buka di malam hari. Warung pinggir jalan yang saya maksud spesifik menjual hidangan murah. Menggunakan tenda tak bersulam agar pembeli aman dari basah hujan, dan pemiliknya memastikan sebuah gerobak muat di bawah tenda tersebut.


Warung pinggir jalan menjanjikan porsi dan rasa. Di sana, makanan kian nikmat ketika dipadu dengan harganya yang tak seberapa. Di warung pinggir jalan, suasana tidak diperjualbelikan. Pembeli harus bisa maklum terhadap banyaknya polusi serta gangguan. Kenikmatan makan di warung pinggir jalan tidaklah mutlak bagi setiap pembeli.


Warung pinggir jalan adalah tempat pembeli memesan dan pedagang melayani. Tempat pedagang berbasa-basi dengan pembeli sembari tangannya menggoyang spatula. Warung pinggir jalan adalah tempat pengunjung membahas sesuatu yang bahkan tidak enak jika dibahas di tempat lain. Warung pinggir jalan adalah tempat kaya akan interaksi manusia.




Warung pinggir jalan juga menafkahi seniman-seniman jalan. Jumlah mereka tidak hanya dua atau tiga. Pengamen masuk setiap dua menit di warung pinggir jalan. Di sana, mereka merasa berhak memainkan alat musik yang berbunyi sembarangan. Merasa berhak diimbali atas suaranya yang terlanjur menyusup ke kuping para pembeli. Dan merasa berhak marah saat tak ada bunyi koin jatuh di atas gelas plastiknya. Di warung pinggir jalan, yang sering malah senimannya mengganggu penikmat santap malam. Di warung pinggir jalan, ada bentuk interaksi lain bernama sedekah.


Warung pinggir jalan adalah tempat nyaman buat tukang parkir abal-abal. Siap sedia menunggu setiap orang yang bermaksud meninggalkan warung pinggir jalan. Tukang parkir beranjak menolong hanya apabila disodori seribuan. Kurang dari itu segera ia ambil lalu kembali ke pangkuan motor yang ia parkir nyaman di sela warung satu dan warung lainnya. Warung pinggir jalan adalah tempat di mana sebagian jasa hanya sekedar formalitas belaka.


Warung pinggir jalan bukanlah tempat bagi interaksi-interaksi yang ideal. Warung pinggir jalan bukanlah lokasi yang sesuai untuk membuktikan teori-teori interaksi manusia. Di warung pinggir jalan, semua kejanggalan harus bisa dirasionalkan oleh rasa kemanusiaan serta tentu saja, iman.

Minggu, 01 Januari 2012

One New Lap

Lima, empat, tiga, dua, satu. Sebuah benda meluncur vertikal ke langit, hingga berhenti di titik dimana semua mata manusia dapat melihatnya. Bum! Lalu bunyi terompet bersahut-sahutan.


Saya tidak paham dengan apa yang sebenarnya dirayakan. Perjalanan waktu adalah sebuah kepastian selama semesta ini masih diizinkan untuk eksis. Satu tahun adalah segmentasi waktu yang periodik, cyclic, karena jagad raya diciptakan dengan konsep berputar pada satu orbit. Satu tahun berarti satu putaran bumi terhadap matahari, menunjukkan sekali lagi satu siklus baru yang akan dialami oleh manusia (karena kebetulan tinggal di bumi). Bagi manusia, siklus baru sama dengan harapan baru. Resolusi. Segmentasi waktu yang diikuti dengan segmentasi rencana pencapaian manusia. Lalu haruskah harapan itu dirayakan? Atau justru siklus baru bumi yang dirayakan? 


Yah, kesimpulan saya adalah sebuah seremoni tidak perlu terlalu memperhatikan esensi...



Ahirnya kita sampai pada tahun yang telah banyak dilabeli macam-macam. Siapa tidak cemas dengan tahun 2012? Berita terjadinya bencana besar di tahun ini datang dari zaman dulu hingga sekarang. Dari suku-suku yang mengandalkan roh atau batu, hingga lembaga besar dengan peranti canggih pengintai benda-benda langit. Layaknya lomba balap, bisa saja pada putaran ini bumi akan tergelicir, lalu mati. Bisa saja bencana itu bukan datang dari alam, melainkan diciptakan oleh manusia. Konflik. Perang massal. Isu-isu hebat yang dilempar untuk melemahkan pengganggu. Bukankah tahun baru artinya rencana baru?


One new lap. Saya pun punya harapan baru. Tentang bagaimana klaim-klaim tentang dunia tidak terbukti. Tentang bagaimana keluar dari masa belajar semenjak delapan belas tahun lalu bermain perosotan saat istirahat siang. Tentang bagaimana bersiap untuk hidup yang dipompa dengan upaya sendiri. Tentang bagaimana menyiapkan relasi, karier, dan mungkin juga pasangan hidup. Siklus baru yang juga menjadi fase baru. Seharusnya, dan marilah berharap. 


Semoga harapan kali ini lebih kencang dari bunyi kembang api dan terompet. Kita perjuangkan lagi satu putaran di depan. Selamat datang, 2012!