Minggu, 14 Desember 2014

Bandung bagi Saya

Zona geografis ajaib karena mampu memutar ulang suasana. Tidak selalu menyenangkan, namun dengan sesukanya mengambil banyak ruang di memori antihapus - antitimpa. 

Bandung adalah tempat beberapa hal penting tertinggal, bisa jadi untuk selamanya.

Hal-hal yang dulu nikmat untuk diperjuangkan, sekalipun tidak langsung bermanfaat nyata. Hal-hal yang pada saatnya akan memberi rasa bangga, bahagia, atau malah menyiksa.

Kamis, 04 Desember 2014

Celebes Four Days: Part 1

Liburan! Ini dia media untuk memutus rantai kejenuhan akibat siklus on dan off dari bekerja. Kali ini saya, Alif, Andi, Cucu, Gandrie, dan Rendy jalan-jalan empat hari ke tanah tempat para Dewa menyembunyikan lanskap surga dan beberapa resep makanannya. Makassar!

Tanggal 28 November 2014 adalah awal cerita petualangan ini. Kami hanya perlu bertemu di Bandar Udara Sultan Hasanuddin (BSH) di Makassar pada hari itu. Maka berangkatlah kami dari kota domisili masing-masing, sehari sebelumnya. Pagi hari pukul 05.00 WITA, enam orang pelarian menyempatkan diri berfoto di landmark terdekat. Let's start the journey!


Rendy, Cucu, Andi, Saya, Gandrie, dan Alif (Photo by Gandrie)

Tujuan pertama kami adalah Taman Nasional Bantimurung. Dari BSH, kami sepakat menyewa jasa taksi Avanza untuk mengantar kami langsung ke tujuan. Eits, karena kami berenam, maka tarif sewanya nggak jauh beda kok dibandingkan bila kami naik angkot. Yes, number does matter. Cukup 200 ribu rupiah untuk perjalanan selama sejam dengan kecepatan sedang. Tancap!

Sekitar pukul 06.00, kami tiba di pintu gerbang wisata Bantimurung. Terlalu pagi untuk masuk, kami putuskan untuk sarapan dulu sambil istirahat. Kantin di seberang area parkir sudah siap sedia menyajikan segelas teh hangat untuk kami. Udara sejuk dan minuman hangat. Plong! Kami membuka sarapan berupa bebek kuyup yang sengaja dibawa oleh Andi. Nikmatnya rame-rame!

Setelah perut kenyang, kami menginjakkan kaki ke destinasi pertama kami. Oiya, harga tiket untuk seorang 25 ribu rupiah, ya. Langsung saja, ini dia Bantimurung!


Gerbang utama Bantimurung (Photo by Gandrie)

Kolam pemandian awet muda & enteng jodoh (Photo by Gandrie)

Air terjun tempat kami bobo-bobo cuek (Photo by Gandrie)

Tugu di dalem kompleks Bantimurung (Photo by Gandrie)

 Pintu masuk gua (Photo by Gandrie)

Air terjun kedua plus danau biru alami (Photo by Gandrie)

Kompleks ini terdiri dari beberapa kolam pemandian, air terjun, museum kupu-kupu, area tracking sepanjang +/- 1 km, serta gua-gua bawah tanah. Enam puluh persen waktu kami di sini dihabiskan untuk bersantai, nyanyi, dan tertidur di depan air terjun pertama. Rindang, sejuk, ditemani suara air. Bikin ngantuk! Pengunjung lain terbengong melihat enam laki-laki seenaknya bobo di bebatuan. Haha, namanya juga capek. Oiya, kami melewatkan museum kupu-kupu dan gua mimpi, dengan alasan hemat biaya (padahal cuma nambah 5000 rupiah) dan menghemat waktu (karena tidurnya bablas, haha).

Hari pertama kami adalah Jumat. Beruntung, di dalam kompleks wisata Bantimurung terdapat sebuah masjid. Kami menunaikan ibadah sholat Jumat di sana. Selepasnya, kami langsung keluar untuk menuju destinasi kedua: Rammang-Rammang. Wisata perahu ini menawarkan cara berbeda untuk menikmati keindahan bumi Maros. Kami pun tersihir walau hanya lewat gambar di poster. Yap, naik perahu, coy! Tunggu apa lagi?!

Perjalanan ke Rammang2 kami tempuh menggunakan angkot carteran. Opsi ini kami pilih atas rekomendasi seorang pemuda di kantin Bantimurung, karena dengan menyewa, maka angkot akan otomatis mengantar kami lewat jalur2 pintas menuju Rammang2. Singkat waktu, hemat duit! Deal kami dengan Bapak Pemilik Angkot adalah 150 ribu rupiah, untuk perjalanan 1 jam dengan kecepatan lambat. Terima kasih banyak untuk pemuda baik hati di kantin Bantimurung. You saved our schedule. Pukul 14.30, kami sampai di gerbang Rammang-Rammang.

Perjalanan Bantimurung - Rammang2 naik angkot carteran (Photo by Gandrie)

Rammang2 merupakan suatu wahana menyusuri sungai air payau menggunakan perahu motor berkapasitas 8 orang. Tujuan perahu adalah mengantar wisatawan menikmati pemandangan kiri-kanan yeng berupa kebun pandan raksasa, bukit2 batu, dan bila beruntung atraksi satwa2 di sekitar sungai. Perahu akan berhenti di Berua, sebuah kampung mini penghasil udang yang sangaat indah!


Gerbang Rammang2, titik mulai berperahu! (Photo by Gandrie)

Hutan pandan dan batu raksasa. Mistis! (Photo by Gandrie)

Formasi batuan berbentuk hamburger yang bikin penasaran (Photo by Gandrie)

Kampung Berua. Di sini kami berfoto, makan mie instan, sambil ngobrol dengan warga setempat. Karena merupakan lembah dari perimeter bebatuan raksasa, kampung ini cukup sejuk sekalipun matahari sedang terik. Bermain layang-layang tentu akan terasa sangat menyenangkan di sini. Kebetulan seorang Bapak memanen udangnya hari itu. Dapat sebanyak satu galon cat. Katanya, saat ini udang miliknya dihargai 90 ribu rupiah sekilo. 

 Selamat datang di Kampung Berua (Photo by Gandrie)

 Tambak, bukit batu, dan rumah penduduk di Kampung Berua (Photo by Gandrie)

Pukul 16.00, kami putuskan untuk melanjutkan perjalanan. Menyusuri sungai yang sama namun dari arah sebaliknya. Seekor bangau dengan perkasa hinggap di ujung pohon pandan tertinggi. Tidak lama, bebek2 kecil pamer atraksi terbang rendah. Anggun! Hujan turun sesaat sebelum perahu kami tiba di gerbang keberangkatan Rammang2. Wisata alam hari itu kami tutup dengan berteduh sejenak di pondok tempat Bapak2 memarkir perahunya.

Pukul 17.00. Kami harus bergegas supaya tidak kemalaman sampai di Makassar. Angkot kami pilih sebagai moda untuk perjalanan ke ibukota. Ternyata jauh bukan kepalang. Kami menaiki dua jenis angkot agar bisa sampai di lokasi bernama Sentral. Angkot pertama, rute Maros-Daya, 2 jam, seorang 12 ribu. Angkot kedua, rute Daya-Sentral, 1 jam, seorang 8 ribu. Semua orang di rombongan tertidur di angkot pertama. Pukul 19.30, kami menginjakkan kaki di Sentral.

Sentral adalah sebutan untuk salah satu pusat keramaian di Makassar. Di sana ada Lapangan Karebosi, Makassar Trade Center, Carrefour, dan beberapa toko besar yang luput dari mata saya. Di sana kami berjumpa dengan anggota terakhir kelompok kami. Namanya Iwan. Karena berkarir di Makassar, maka dia yang akan kami andalkan buat menjadi guide di perjalanan selanjutnya. Iwan sudah siap dengan mobil Avanza sewaan. "Buset, lo pake lampu jauh wan? Dasar amatir!". Hahaha.

Perjalanan kami hari itu ditutup indah oleh kekayaan rasa Palu Basa khas Warung Makan Serigala, dan kelembutan tekstur Es Pisang Ijo milik Kantin Muda-Mudi. Radically delicious! Ternyata desas-desus bahwa resep rahasia makanan surga telah ditemukan oleh warga setempat adalah benar adanya. Ini dia nih, nagih!

Menu utama dewa: Palu Basa Serigala! (Photo by Gandrie)

 Hidangan penutup dewa: Pisang Ijo Muda-Mudi! (Photo by Gandrie)

Setelah kenyang, kami beristirahat sejenak di rumah kontrakan Iwan yang berada sedikit di pinggir kota Makassar. Mandi, tiduran, dan beberapa tidur betulan. Pukul 23.00, kami berangkat ke destinasi utama kami. Tanjung Bira... (to be continued)

Minggu, 01 September 2013

Merindu Upacara Bendera

Adalah beruntung bahwa saya dapat mengikuti upacara peringatan Hari Kemerdakaan RI ke-68 di kantor. Saya sepenuhnya sadar bahwa tidak menghadiri satu pun upacara bendera selama empat tahun membuat saya benar benar rindu acara ini. Merindu suasana sakralnya sebuah prosesi upacara bendera.
Tampaknya upacara bendera masih seperti itu. Inti mata acaranya tentulah pengibaran sang pusaka merah putih, penghormatan kepadaya sembari diiringi lagu kebangsaan Indonesia Raya, pembacaan teks pembukaan UUD 1945, serta prosesi mengheningkan cipta. Sekalipun tidak dibawakan dengan sempurna layaknya di istana kenegaraan, namun sangat cukup untuk membawa jiwa saya kembali menjadi Indonesian sebagaimana seharusnya, ciyee. Saya percaya bahwa pada dasarnya upacara “hanya” media untuk memfasilitasi tujuan mulia tersebut. Sisanya, tentu tugas masing-masing peserta untuk merendahkan hati, menjauhkan pikiran dari angkuhnya hingar-bingar rutinitas harian, dan menyerap sebaik mungkin makna dari setiap kata yang termuat di dalam karya-karya para negarawan jenius kita terdahulu. Kekhusyukan atau kesakralan itu muncul dari dalam hati, Sob. Tidak masuk lewat penglihatan atau lubang telinga. Maka mari kita selalu menjadi peserta upacara bendera yang sebaik-baiknya.
Kemudian sebuah cambuk bisa segera diayun, lagi-lagi cambukan klise dan terdengar sok : Apa yang sudah kita perbuat untuk bangsa?
Bagi saya, berbuat tidak akan saya artikan setinggi angkasa. Cukup dengan kembali membuka diri atas semua informasi tentang Indonesia, baik atau buruk, pujian atau hinaan, prestasi atau kontroversi. Mandiri dan punya rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Jika hari ini tidak mampu menjadi solusi, setidaknya tidak ikut-ikutan menjadi masalah. Terus menerus berproses untuk menjadi manusia yang bermanfaat luas, dari mana pun saya berpijak hari ini dan akan bernaung kemudian hari. Semoga saya bukan termasuk orang-orang munafik.
***
17 Agustus 2013. Antarkan kami menjadi bangsa yang merdeka seutuhnya. Mohon ijabah harapan kami, Tuhan.

Selasa, 02 April 2013

Sedikit Cerita Tertunda

Cerita kita dimulai oleh perkenalan dengan perosotan, jungkat-jungkit, dan ayunan reyot. Berlanjut di mana belajar tak ubahnya bermain, sedangkan bermain haruslah bermain kuadrat. Dan seterusnya, di mana nyaris tiap hari kita berada di sana. Berkawan, bergaya, memilih-milih sang idaman tanpa aksi. Sekolah adalah saat kita bermain-main dengan tanggung jawab dan kecemasan orang tua, meskipun nyaris tak pernah kita memikirkan hal itu. Sekolah itu sesederhana berpikir bagaimana bisa memperoleh nilai baik tanpa kehilangan waktu bermain. Tanpa sadar, bersekolah, terlepas itu SD atau SMP atau SMA atau bahkan kuliah, adalah zona nyaman bagi kita, dan kurasa juga berlaku buat semua.

Sampai aku, antara terpaksa dan tidak, harus memutuskan akhirnya seperti apa. Pada saatnya akan datang masa untuk tiap-tiap manusia. Selesai, dan terimalah. Terima kasih atas cerita selama delapan belas tahun ke belakang. Terima kasih Kau kenalkan aku kepada banyak sekali manusia hebat selama periode itu. Terima kasih, terima kasih, Tuhan. Mudahkan aku untuk menyapa mereka esok saat kami sudah berjalan masing-masing di berbagai penjuru galaksi. Dan izinkan aku untuk kembali bersekolah suatu saat nanti. Memperpanjang sedikit lagi masa delapan belas tahun itu.

Bandung, Rabu, 12 September 2012.

 

Permainan virtual mengajarkan bahwa perjuangan paling melelahkan adalah menjelang finish. Memang seperti itu adanya. Tidak mudah, namun sungguh mengasyikkan. Pesannya sederhana: Nikmati momen jatuh-bangun yang sudah satu paket. Jangan pernah mengeluh, karena yang sedang kalian lakukan adalah membuat ending paling sempurna dari ceritamu sendiri. Hargai itu, perjuangkan itu!

Kamis, 07 Maret 2013

Kutagih Janjiku

Katanya pingin punya hobi nulis. Katanya pingin rutin nulis sampe gak sanggup lagi. Katanya pas tua nanti pingin senyum2 baca tulisan sendiri. Katanya pingin bisa bercerita ke anak cucu lewat tulisan2 jaman muda. Katanya pas mati besok pingin ninggalin tulisan2 buat dunia.
Koar koar aja gak akan pernah cukup. Mulai nulis lagi, cuks!

Sabtu, 02 Juni 2012

Kami Bicara Jodoh

Ini dibahas di studio TA tercinta. Salah satu momen paling berkualitas selama saya berstatus sebagai mahasiswa...


Bahwa kami adalah mahasiswa tingkat akhir, calon sarjana, calon karyawan ataupun usahawan, dan tentu saja bahwa kami adalah calon suami/ menantu/ bahkan ayah. Dengan dasar itulah kami berdiskusi tentang pekerjaan dan . . . Pernikahan.

Informasi, pendapat, ataupun kejadian dilontarkan oleh masing-masing dari kami. Dengan modal pengetahuan agama, pengalaman, nalar, dan logika, maka kami pun bertukar opini. Memperkuat masing-masing pemahaman tentang topik yang malam itu terasa begitu menarik sekaligus mendebarkan. Berikut adalah beberapa poin menggelitik hasil diskusi kami.
  1. Katanya, jodoh itu di tangan Tuhan. Maka, siapa pun pasangan kita, dialah yang terbaik untuk kita.
  2. Tidak logis jika tiba-tiba di tengah keramaian kita bertemu dengan jodoh yang kita idam-idamkan, dan ia pun dengan tiba-tiba cinta mati kepada kita. Manusia tetap butuh usaha, ikhtiar. 
  3. Kata seorang kawan, dalam Islam, laki-laki dan wanita itu "dijodohkan" melalui wali atau gurunya. Proses seleksi ditempuh melalui perantara, sebagaimana biro jodoh. Proses yang bebas dari segala bentuk zina itu namanya ta'aruf.
  4. Kini, proses tersebut dilakukan langsung oleh pasangan yang bersangkutan. Masa-masa mengenal, memahami, menjajaki itu kerap disebut sebagai pacaran



Mengingat kami bukanlah pemuda-pemuda yang hidup di zaman Siti Nurbaya, maka secara otomatis kami punya kecenderungan melakoni proses pacaran. Dengan membandingkan dengan 3 poin sebelumnya, maka kami pun sadar bahwa pacaran tidak ubahnya merupakan "bentuk ikhtiar, upaya yang dilakukan untuk memperoleh pasangan terbaik, sehingga di sana seharusnya terjadi proses seleksi". 

Ya, malam itu kami sadar, sekaligus menambahkan sedikit kesimpulan tentang pacaran. Bahwa sebenarnya pacaran itu:
  1. Bukan hanya proses seleksi, namun juga proses menyesuaikan diri, sikap, dan pandangan. Sah-sah saja jika sang pria atau wanita harus mengalah, menurunkan egoisme, ataupun mengubah sikapnya jika memang pada akhirnya proses tersebut menghasilkan sepasang pria-wanita yang cocok luar dalam, sebagaimana dua keping puzzle yang unik namun saling melengkapi. 
  2. Harusnya diarahkan kepada pernikahan. Karena pacaran tak ubahnya ta'aruf yang terpaksa dilakukan sendiri oleh pria dan wanita untuk menekan deviasi akibat rantai perjodohan yang panjang.
  3. Jika proses penyesuaian terlalu lama, terlalu melelahkan karena terlalu banyak sikap dan pandangan yang harus diubah, maka artinya proses tersebut telah sampai pada batasnya. Seharusnya hubungan tersebut segera dihentikan, lalu mencari  pasangan yang baru. Ingat, di sini kita sedang ihktiar untuk mencari jodoh terbaik.
Kesimpulan tersebut membuka mata kami tentang bagaimana menjalin hubungan yang baik dengan pasangan masing-masing. Meskipun secara logika itu sangat benar, namun pada kenyataannya menganggap pacaran adalah proses iterasi sangatlah sulit, terutama karena di dalam proses tersebut, perasaan (atau hati) diikutsertakan. Dan saya di sini hanyalah seseorang yang ingin membagi kesimpulan kami, tentang pacaran yang baik dan positif. Semoga ini bermanfaat, khususnya buat saya sendiri. Haha.

Sabtu, 21 April 2012

Kepekaan Jaman Modern

Sebuah pesan dari senior saya di unit Loedroek, "Anak jaman sekarang ini semakin sensitif. Sedikit-sedikit minta maaf, sedikit-sedikit bilang terima kasih. Itu kelihatan baik, namun sebenarnya tidak. Hati-hati dengan terlalu sensitif". Pesan yang sukar untuk dipahami. 


Menurutku, benar jika di zaman sekarang anak muda menjadi semakin sensitif. Mudahnya berkomunikasi menggunakan satelit atau kabel memperkecil intensitas orang untuk bertukar sapa secara langsung. Semakin jarang kita bertatap muka dengan orang lain, semakin sedikit waktu kita untuk memahami ekspresi manusia. Seragamnya susunan alfabet di monitor membuat kita semakin tidak peka terhadap perasaan yang ada di balik tinggi rendahnya intonasi bicara seseorang. Sehingga setiap kali bertemu, akan banyak sekali permintaan maaf atau ucapan terima kasih sebagai cara untuk menghindari kesalahan dalam menangkap ekspresi lawan bicara. Kita semakin tidak sensitif terhadap perasaan orang, namun bertindak terlalu sensitif untuk mengantisipasi kekurangan kita itu.




Ada bentuk ketidaksensitifan lain yang menurutku hanya ada pada manusia zaman sekarang. Lagi-lagi akar masalahnya ada pada kuantitas waktu manusia untuk bersua muka. Kini manusia semakin pandai, sehingga bisa memperhitungkan kapan waktu terbaik untuk menyapa langsung orang-orang di sekitar kita. Kita menjadi terlalu pamrih, mempertimbangkan untung dan rugi dari setiap sumber daya yang kita habiskan, tak terkecuali waktu. Jelas bahwa pertemuan yang sekejap dan terlalu kental dengan unsur kepentingan akan membawa pengaruh negatif. Sekarang, orang-orang tidak lagi sensitif terhadap dampak buruk dari perbuatannya terhadap orang lain, meskipun mereka semakin pandai dan semakin taat. Bukankah Islam mengajarkan hablu minaallah dan hablu minaannas? Hati-hati dengan sikap oportunis, kawan.


Berjumpalah dengan kawan, berkomunikasilah dengan ekspresi yang tanpa batas. Marahlah, menangislah, kita belajar lagi tentang kepekaan manusia. Zaman boleh serba cepat, namun kita dilarang membuang muka dari kesengsaraan orang lain. Waktu yang ada di dunia bukan semata-mata untuk kemajuan diri atau hubungan dengan Sang Pencipta, melainkan juga untuk memikirkan manusia lain di sekitar kita. Ayo kawan, kita tumbuhkan kembali sikap sensitif manusia yang sebenar-benarnya!