Kamis, 16 Februari 2012

Warung Pinggir Jalan

Warung pinggir jalan adalah milik pedagang kaki lima, memanfaatkan kelengangan trotoar sebagai lokasi jual beli, dan nyaris semua buka di malam hari. Warung pinggir jalan yang saya maksud spesifik menjual hidangan murah. Menggunakan tenda tak bersulam agar pembeli aman dari basah hujan, dan pemiliknya memastikan sebuah gerobak muat di bawah tenda tersebut.


Warung pinggir jalan menjanjikan porsi dan rasa. Di sana, makanan kian nikmat ketika dipadu dengan harganya yang tak seberapa. Di warung pinggir jalan, suasana tidak diperjualbelikan. Pembeli harus bisa maklum terhadap banyaknya polusi serta gangguan. Kenikmatan makan di warung pinggir jalan tidaklah mutlak bagi setiap pembeli.


Warung pinggir jalan adalah tempat pembeli memesan dan pedagang melayani. Tempat pedagang berbasa-basi dengan pembeli sembari tangannya menggoyang spatula. Warung pinggir jalan adalah tempat pengunjung membahas sesuatu yang bahkan tidak enak jika dibahas di tempat lain. Warung pinggir jalan adalah tempat kaya akan interaksi manusia.




Warung pinggir jalan juga menafkahi seniman-seniman jalan. Jumlah mereka tidak hanya dua atau tiga. Pengamen masuk setiap dua menit di warung pinggir jalan. Di sana, mereka merasa berhak memainkan alat musik yang berbunyi sembarangan. Merasa berhak diimbali atas suaranya yang terlanjur menyusup ke kuping para pembeli. Dan merasa berhak marah saat tak ada bunyi koin jatuh di atas gelas plastiknya. Di warung pinggir jalan, yang sering malah senimannya mengganggu penikmat santap malam. Di warung pinggir jalan, ada bentuk interaksi lain bernama sedekah.


Warung pinggir jalan adalah tempat nyaman buat tukang parkir abal-abal. Siap sedia menunggu setiap orang yang bermaksud meninggalkan warung pinggir jalan. Tukang parkir beranjak menolong hanya apabila disodori seribuan. Kurang dari itu segera ia ambil lalu kembali ke pangkuan motor yang ia parkir nyaman di sela warung satu dan warung lainnya. Warung pinggir jalan adalah tempat di mana sebagian jasa hanya sekedar formalitas belaka.


Warung pinggir jalan bukanlah tempat bagi interaksi-interaksi yang ideal. Warung pinggir jalan bukanlah lokasi yang sesuai untuk membuktikan teori-teori interaksi manusia. Di warung pinggir jalan, semua kejanggalan harus bisa dirasionalkan oleh rasa kemanusiaan serta tentu saja, iman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar