Senin, 27 Desember 2010

Indonesia Belum Pantas! : Saya Harap Salah

Mungkin harapan-harapan yang ada terlalu menjulang. Mungkin karena terlalu rasional. Mungkin batas optimis telah terlewati, dan pasukan tempur  terlanjur masuk ke zona arogan. Mungkin gangguan nonteknis yang patut dipersalahkan. Namun saya pikir ini adalah sebuah komplikasi. Komplikasi keterpurukan, ketidakmampuan secara mental seluruh bangsa ini untuk memenangi turnamen. Indonesia belum siap untuk juara.
 
Stadion Bukit Jalil, Kuala Lumpur, Malaysia.
Malaysia 3 – 0 Indonesia.

Mengecawakan? Sudah tentu. Namun tidak bijaksana jika yang disalahkan hanya pemain di lapangan atau pelatih di bench. Sedangkan tidak jantan bila mempersoalkan sportivitas supporter lawan. Hal yang paling tidak bisa diterima adalah memandang sebuah pertandingan hanya sebagai momen penuh keringat selama 90 menit tanpa kejadian apapun baik di depan ataupun belakangnya. Sebelum ataupun setelah laga, ada banyak hal yang mungkin berpengaruh terhadap keberjalanan sebuah tim (karena tim itu adalah sebuah objek yang bekerja, dan objek itu masih akan tetap sama dalam sebuah gelaran turnamen). Maksud saya adalah jangan memalingkan muka pada hal-hal yang terjadi di luar pertandingan.





Oke, saya juga mengenal apa itu sepakbola. Saya paham betapa sebuah pertandingan, hanya sebuah pertandingannnya saja, dapat menghancurkan tim dengan persiapan terbaik. Saya belajar itu. Apalah arti teori yang matang tanpa pelaksanaan yang sempurna. Oleh karenanya, saya punya beberapa anilisis asal-asalan yang mungkin merupakan sebuah respon wajar dari seorang yang merasa kecewa. Namun sebisa mungkin saya rasional akan elemen-elemen pemengaruh hasil pertandingan malam ini. Elemen-elemen yang tidak saya definisikan sebagai sebab atau akibat, atau barangkali bukan keduanya samasekali. Elemen-elemen yang membuat saya berpikir, "Memang secara keseluruhan, bangsa Indonesia belum siap”.

Media
Inilah kambing hitam utama dalam kacamata saya. Orang-orang beringas, lapar materi, yang sedikit egois dan bahkan mungkin tak tahu bedanya “menumbuhkan nasionalisme” dengan “memprovokasi”, dan “membodohi”. Saya mencoba memberi bukti:
  • Lihat bagaimana anak-anak kecil yang tak tahu-menahu tentang sepakbola tiba-tiba merengek meminta kostum timnas bernomor punggung 9.
  • Lihat bagaimana pemain muda dan terasing dari budaya Indonesia seperti Irfan Bachdim menunjukkan wajah enggannya setiap kamera gossip hendak menyorotnya, yang perlakuan tersebut tidak pernah dan mungkin tidak akan pernah ia dapat di negaranya terdahulu.
  • Lihat bagaimana pendukung sejati timnas, penikmat bola yang cerdas, begitu sensitif akan pemberitaan yang berada jauh sekali di luar khazanah olahraga sepakbola yang sesungguhnya.
Dan banyak lagi gelagat lain, tendensi yang lebih dari cukup untuk menuding para kapitalis berkamera sebagai tersangka utama di balik keterpurukan mengejutkan ini.

Politikus
Elemen yang kedua saya peroleh juga dari pemberitaan media. Poltikus berlomba-lomba mendompleng keberhasilan timnas. Saling mengunjungi camp latihan dan memberikan dukungan secara langsung. Ada yang mewakafkan lahan gratis untuk level keberhasilan timnas yang lebih tinggi di masa mendatang. Beberapa menjanjikan bonus khusus untuk setiap kemenangan yang berhasil diraih. Sedangkan yang lebih berkuasa mengklaim keberhasilan timnas adalah buah andil mereka di masa lalu. Ini, itu, nyesnyo. Tahu apa mereka akan sepakbola? Peduli apa mereka selain popularitas, eksistensi, dan nama baik?

Penonton
Elemen berikut masih diberitakan oleh media. Bahwa terjadi kericuhan di lokasi penjualan tiket pertandingan kedua di Senayan, Jakarta. Bahwa pendukung timnas saling desak dan berebut antrian, saling tuding akan kemungkinan konspirasi, hingga aktivitas pukul-memukul yang notabene dilakukan oleh sesama pendukung garuda. Seperti itukah nasionalisme yang diharapkan? Seperti itukah sikap di dalam tubuh bangsa ini, ketika akan bersama-sama “melawan” bangsa lain? Dan apakah masih akan ada nafsu bernafas nasionalisme ini, pasca leg pertama yang menyakitkan? Bahkan sekedar untuk “berperang” pun, kita jauh dari siap. Apalagi untuk menang.

Decision on battlefront
Berawal dari kelalaian panitia, berujung pada kekalahan salah satu peserta. Namun di tengahnya ada kesalahan mutlak dari yang kalah. Saya sepakat dengan apa yang komentator ucapkan, “Jangan sampai berhentinya pertandingan akibat peristiwa laser ini menurunkan konsentrasi pemain kita”.  Dan benar, apa yang terjadi setelah peristiwa itu adalah apa yang ditakutkan olehnya. Bukan laser, sejatinya, namun keputusan pemain sendiri. Andaikan pemain kita tidak menghancurkan daya konsentrasi, mengganggu ritme, dan me-restart permainan mereka sendiri dengan sebuah keputusan konyol khas Liga Indonesia, “mogok main”, mungkin malam tadi tidak akan sekelam yang terjadi.


Empat belas tahun mungkin terlalu panjang untuk bangsa sebesar ini menunggu kesuksesan, menunggu di tengah badai keterpurukan yang semakin sempurna mensugestikan kegagalan di setiap gelaran yang diikuti. Yang semakin nyaman melekat di setiap ketidakpercayaan akan datangnya keberhasilan. Sehingga ketika momentum keberhasilan benar-benar datang, bangsa ini sudah terlanjur menjadi bangsa yang kecil, dalam hal menerima kesempatan yang besar itu, dalam hal mempersiapkan diri menjadi pemenang.
 
Namun secara pribadi, saya tidak ingin benar. Saya ingin tulisan saya ini salah. Saya ingin melihat bangsa Indonesia yang siap untuk menjadi juara,. Melihat betapa sesungguhnya besar bangsa ini. Ini bukan perihal sebuah tim, ini perihal seluruh bangsa. 

Tunjukkan jiwa juara yang sesungguhnya wahai segenap putra pertiwi. Tunjukkan bersama garuda-garuda kebanggaan di sana, di 90 menit esok, di  bumi kita sendiri.

Garuda di dadaku
Garuda kebanggaanku
Kuingin, hari esok kita menang!

2 komentar:

  1. Yongkru, jangan campur adukkan urusan bola dengan politik. Saya juga harap Anda salah, Bung Briawan!
    Garuda di dadaku!

    BalasHapus
  2. Dimana para eksekutor agung. Dimana lagi klaim lanjutan pasca kekalahan. Semoga saya memang benar salah.

    Garuda tetap kebanggaanku!

    BalasHapus