Selasa, 07 September 2010

Metode Belajar 24 Jam

Sekian minggu yang lalu adalah hari pertama kuliah semester 5. Yang terbesit dalam benak tentu saja harapan akan pencapaian yang lebih baik. Semester baru, resolusi baru, semangat baru, dan (semoga) nilai baru. Tentu saja nilai. Indeks Prestasi. Yang lebih baik.


Di luar harapan yang murni datang dalam diri, entah mengapa kutemukan semangat lain untuk lebih giat lagi menekuni kewajiban akademis ini. Entah teman-teman, entah himpunan, entah yang lain-lain. Kompleksitas itu mungkin jawaban yang paling benar.


Hingga pada jam terakhir pada hari pertama yang  indah tersebut, dalam kelas Struktur Beton....


Sebuah buku tak lebih dari 40 halaman, dengan ukuran letter atau apalah, warna cover dominan biru dibagikan kepada seluruh kelas. "Metode Belajar 24 Jam". Dan apa yang akan kau ketahui? Buku itu wajib kami beli. What the F.


Itu adalah buku karya dosen pengajar di kelas yang kumaksud. Isinya terlihat jelas dari sang judul, kurang lebih adalah sebuah metode manajemen waktu dengan belajar sebagai prioritas utama sebagai kegiatan yang dilakukan dan yang akan dicapai. Maksudnya adalah, keberhasilan akademis yang akan digapai, dengan cara belajar segila mungkin. Bagi saya pribadi, ini bukanlah manajemen waktu.


Sama saja dengan mengisi bak mandi dengan sebuah ember, satu persatu guyuran, menerus selama 3 jam.Memang bak mandi akan terisi penuh, namun energi yang dikeluarkan si manusia juga akan banyak. Intens, namun dengan menghilangkan segala kegiatan lain bukanlah suatu implementasi akan ide majemuk bernama manajemen waktu. Itu sudah jelas merupakan metode untuk mencapai sesuatu, namun tanpa pertimbangan optimalisasi. Tidak juga efisien. Apalagi ini menyangkut objek berwujud manusia. Karena parameter optimal dan efisien setiap manusia tidak akan sama. Jika dikembalikan ke analogi yang sudah dibuat, maka metodenya adalah 'mengisi bak mandi menggunakan ember masing-masing'. Tanpa kita cermati, 'ember' setiap orang pun tidak akan sama. Ada yang berlubang di sana-sini, ada yang terlampau berat karena terbuat dari material berat, ada yang volumenya terus membesar secara eksponensial setiap kali isinya dituangkan, dan sebagainya dan sebagainya. Sangat variatif, sangat relatif, sukar untuk direratakan dengan (misal) sebuah hukum atau persamaan.


Kasusnya adalah, kami, para mahasiswa yang ditodong untuk wajib membeli buku itu, maka secara otomatis akan timbul paksaan untuk mengkonsumsi apa yang ada didalamnya. Yang artinya tentu saja adalah kami harus mematuhi metode yang si Bapak punya. Lalu mengapa dengan metodenya? Metodenya adalah kami diharuskan menyediakan 8 (DELAPAN) jam tiap hari Senin s/d Jumat sebagai slot waktu untuk belajar. 8 jam tersebut adalah total waktu tiap hari yang kita lakukan untuk kuliah di kelas, ditambah belajar mandiri. Pokoknya, 8 jam itu harus kau gunakan untuk belajar! Atau jika dianagramkan, sehari kau harus belajar selama 8 jam!


Tentu saja ini menggelitik otak.
Pertama; kasus penodongan. Yang terjadi sebenarnya tak lain adalah transaksi jual beli. Perpindahan barang dari satu pihak ke pihak lain, dengan uang sebagai alat tukarnya. Si Bapak menjual buku, dan kami calon pembelinya. Ekonomi dasar banget. Dan jika kami suka dengan barang si Bapak, maka kami akan dengan sadar membelinya. Dari pihak kami ataupun si Bapak pun tidak ada yang tidak waras, sudah dewasa, dan seharusnya tidak ada paksaan dalam hal ini. Tapi yang terjadi pada kami adalah lain. Pengwajiban mendekati pemaksaan. Oke, Bapak menjual sebuah ide, metode. Namun belum tentu kami suka dengan metode Bapak yang Bapak jual dalam bentuk buku itu. Dan setahu saya pembeli berkuasa.


Kedua; kasus kebebasan mahasiswa. Menurut saya, kuliah adalah tempat menimba ilmu, mencari jati diri, dan menemukan jalan terbaik. Semuanya independen, idealnya tidak ada intervensi dari pihak manapun. 'Menemukan jalan terbaik' yang dimaksud adalah, dengan kondisi fisik, psikis, kesibukan, prioritas, dll yang berbeda-beda pada setiap orang, diharapkan semuanya mampu menjalankan fungsi utamanya sebagai mahasiswa, belajar. Lalu dengan kewajiban yang sama ini, tentu hasil yang dicapai setiap orang adalah sama, prestasi akademis. Namun dengan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi seperti tersebut, maka setiap orang pun harus bisa menemukan metode yang paling tepat bagi dirinya sendiri. Ada mahasiswa yang memaksimalkan peran dosen, ada yang harus belajar seharisemalamsuntuk sebelum ujian, ada yang punya prioritas ini itu dan menomorsekiankan belajar secara rutin, bahkan ada yang cukup hanya membuka catatan ketika waktu mulai ujian kurang 45 menit. Mahasiswa adalah individu-individu dewasa yang telah mengerti akan dirinya sendiri. Bahkan dengan mengerti itu, mahasiswa telah melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh tiap-tiap manusia. Lalu apakah dengan paksaan, metode yang membelenggu alam sadar kita, bisa dikatakan individu itu akan mampu mencapai titik optimalnya? Dan apakah itu berbeda dengan perlakuan seorang ibu kepada anaknya yang masih TK?




Yang pertama agaknya yang menjadi sumber kegelian pikiran saya. Jikalau tidak ada paksaan, maka semuanya akan menjadi normal. Dan kegelian kedua pun tak akan terjadi, bahkan terpikirkan. Tanpa mengurangi hormat Saya kepada Bapak, saya ingin berujar sesuatu.


Pak, Bapak adalah orang yang sangat-sangat hebat. Dan Bapak sama sekali tak memerlukan pembuktian untuk alasan apapun. Tak terkecuali pada kami. Kami sadar akan niat Bapak yang baik, namun mungkin cara Bapak kurang pada tempatnya. Kami tahu kapabilitas Bapak, dan kami ingin menjadi mahasiswa Bapak, mendengarkan semua cerita dan nasihat Bapak untuk menjadi sebaik Bapak, menjadi apa yang Bapak harapkan kami menjadi seperti apa, mengejawantahkan ilmu Bapak yang luar biasa hebat, namun satu ...


Dengan cara kami sendiri.


Salam hangat, Pak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar