Jumat, 15 Juli 2011

Tiga Pesan Mimpi

Selasa, 5 Juli 2011.
 
 
Sebuah malam kulalui dengan tidur yang tak sempurna. Lelap kali itu tidak kuantarkan dengan terlebih dahulu beribadah Isya. Sepulang kerja praktik, langsung saja aku merebah. Untungnya, aku terbangun sebelum subuh memasuki saatnya.

Dalam lelap aku pun bermimpi. Kuanggap itu mimpi walaupun tak ingat betul apa kisah di dalamnya. Kali itu, seperti kebiasaannya, Sang Sutradara Mimpi bertutur dengan buruk. Bahkan sangat buruk. Namun ada sesuatu yang istimewa Ia sampaikan. Sebuah pesan di akhir cerita konyolnya, yang sekaligus membangunkanku dengan jantung berdegup sambil menggumamkan 3 kalimat tak henti-henti.

Determinasi. Tidak ragu. Tidak takut.
Determinasi. Tidak ragu. Tidak takut.
Determinasi. Tidak ragu. Tidak takut.
...

Seperti ada yang marah. Seolah-olah meledak kekecewaan bagian diriku yang lain. Jiwa yang sejauh ini kuacuhkan nasihatnya, tak kuurus penampilannya, sekalipun ia turut belajar sebagaimana jiwa yang kumainkan sebagai aktor utama selama ini. Satu hal kupercaya,  jiwa yang marah belajar dengan lebih jujur. Tidak pernah kuajarkan kepada dia cara memahat topeng sehingga ia nampak rupawan bak bintang pertunjukan. Ia merefleksikan aku apa adanya. 

Menjelang subuh kali itu, alam bawah sadarku mendapati betapa lemah aku selama ini. Beruntung aku, amarahnya justru sebuah pesan. Pesan yang ia kirim bersama karya Sang Sutradara Mimpi. Di titik itu, aku tahu betapa aku telah banyak membuang waktu untuk sikap yang seharusnya kumiliki sejak lama. Hingga akhirnya Tuhan mengajariku lewat cara yang unik sesaat sebelum seruan kepada-Nya berkumandang. Tentang tiga sikap yang harus dimiliki seorang manusia, laki-laki dewasa.

Determinasi. Tidak ragu. Tidak takut.

Minggu, 10 Juli 2011

Teater Pertama Kali

Rabu, 29 Juni 2011.


Tepat di bulan yang sama dengan jadwal kerja praktik saya, Forum Teater Realis dihelat di Ibukota. Kata Ghazi, seorang kawan, itu adalah rangkaian pertunjukan teater realis yang diadakan oleh komunitas Salihara. Ketika kawan saya itu menawarkan agenda, ada beberapa pertanyaan amatir yang muncul. Pertama, “apa itu realis?” dan kedua, “siapa itu komunitas Salihara?”. Namun saya berhenti penasaran karena ada satu pertanyaan lebih mendasar yang belum terjawab oleh saya sendiri, “seperti apa pertunjukan teater itu?”.


Bersama 5 kawan termasuk Ghazi, selepas maghrib kami membelah jalan-jalan kecil Jakarta Selatan. Berangkat ke gedung teater. Sebenarnya saya heran bagaimana mobil yang kami tumpangi bisa menyusuri jalanan sempit berkelok-kelok di Ibukota sebesar ini. Namun saya juga punya jawaban sendiri. Karena yang sedang kami titi adalah jalanan menuju tempat para seniman. Sehingga saya pikir jalanan kecil ini adalah “labirin” a la mereka yang penting untuk dicoba-nikmati oleh para manusia normal seperti kami. Hitung-hitung konsekuensi dari perjalanan kami menuju ke sarang seniman. Haha.


Kami sampai di Gedung Komunitas Salihara. Di tempat yang kami maksud. Akhirnya saya pun menonton seni pertunjukan teater. Cerita berjudul “Pertja” menjadi lakon teater pertama yang saya saksikan. Saya ucapkan banyak terima kasih untuk Ghazi yang telah membawa saya ke Gedung Teater Salihara malam itu.



Sebelum pertunjukan dimulai, di loket ditumpuk buku-buku resensi dari kelima cerita yang ditampilkan selama rangkaian Forum Teater Realis. Ketika saya baca di rumah, ternyata ada sedikit pengantar bagi calon penonton. Isinya resensi lakon yang dimainkan serta penjelasan aliran realis itu sendiri. Ternyata aliran realis tidak sebatas dalam seni peran atau teater, karena bahkan di buku itu, pendefinisian makna realis diawali dengan ilustrasi sebuah lukisan karya Pablo Picasso.

Sepenangkapan saya, intinya bahwa realis merupakan sebuah aliran yang dimaksudkan untuk mengadegankan kejadian-kehidupan nyata (real) dalam panggung pertunjukan. Maka, karya seni realis yang baik adalah karya seni yang dibuat dengan pendekataan sebaik mungkin dengan kenyataan yang ada. Dengan diciptakannya karya-karya seni beraliran realis, diharapkan manusia kembali mampu membuka diri akan segala kemungkinan yang lazim terjadi dalam kenyataan. Menarik bukan?